Minggu, 18 Desember 2011

DBD



View more presentations from DR Irene.

Rabies



View more presentations from DR Irene

Buku Saku Tenaga Kesehatan DTPK



View more presentations from DR Irene

Juknis Jamkesmas Yankesdas



View more documents from DR Irene

Juknis Jampersal



View more documents from DR Irene

Buku Saku Jampersal



View more presentations from DR Irene.

Buku Saku BOK 2011



View more presentations from DR Irene.

Juknis BOK 2011


Chikunguya



View more presentations from DR Irene.

Renstra Kemenkes 2010-2014


Insiden Dan Kecacatan Kusta Sumbar 2011

Kebijakan Penanggulangan Bencana

Selasa, 06 Desember 2011

Usah Kau Lara Sendiri....

Lagu khusus ciptaan Katon Bagaskara dgn Musisi Jepang, yang dirilis sekitar ahun 1996 ini, dipersembahkan untuk Charity Kepedulian Penanggulangan Penyakit AIDS. Seluruh royalti artis dari eksploitasi rekaman lagu ini disumbangkan seluruhnya kepada Yayasan AIDS Indonesia.




Usah Kau Lara Sendiri


You are not alone.... We are here for you......
Selamat hari AIDS 2011

Surat Kaleng

 Surat kaleng adalah surat berisi informasi panas tanpa menyertakan identitasnya untuk menghindari risiko dari suratnya itu. Dari dulu hingga sekarang surat ini sudah populer di negeri tercinta ini. Dengan pekembangan teknologi komunikasi dan informasi sekarang telah dilayangkan dalam berbagai bentuk, mulai surat elektronik sampai surat pesan pendek yang kita sebut sebagai SMS. Jika SMS dari sumber dan informasi yang tak jelas seperti itu bisa di sebut juga SMS kaleng.
Ada surat cinta kepada gadis/lelaki pujaan yang dikirim tanpa identitas (jika si gadis/pria benar-benar jatuh cinta gimana yah???), ada teror bom lewat SMS, ada berita politik lewat SMS.
Kadang surat kaleng tersebut mempunyai “dampak” yang cukup besar juga, tetapi pengirim dan informasi sengaja digelapkan, dilempar ke target tertentu dan biasanya jika ingin mencari pelakunya sangatlah sulit.

Beberapa kejadian yang memperlihatkan “kehebatan surat kaleng”, dapat kita browsing dengan mudahnya melalui internet. Tapi apa jadinya jika pesan/surat dengan sumber gelap itu memasuki kancah politik dan pemerintahan. Pasti akan menimbulkan persoalan yang serius. Sebuah SMS kaleng yang di buat dalam waktu beberapa detik bisa membuat si penerima dan si tertuduh menjadi tidak tenang, terlepas dari ya ataupun tidak mereka melakukan hal yang dikemas dalam kaleng tersebut.

Disaat kita yang terkena imbas lemparan “kaleng” yang tak bertanggung jawab tersebut, pasti kita akan bertanya-tanya, siapa ya pelakunya, kenapa saya? Apa maksudnya? Dan kita mulai menyusun daftar orang-orang yang akan kita “dakwa” sebagai pembuat surat/SMS kaleng tersebut. Setelah kita mendapatkan seseorang dengan nilai probabilitas paling tinggi, maka kita akan serta merta bercuriga kepada orang tersebut (padahal kecurigaan kita juga belum tentu benar).

Sikap bijak yang seharusnya dilakukan adalah dengan menganggapnya hanya sekelas surat/SMS kaleng murahan saja. Karena kalau yang diberitakan itu benar serta bertanggung jawab, sebaiknya disampaikan melalui surat pembaca, dengan nama dan alamat yang jelas….. jangan malah gelap2an di dalam kaleng….

Banyak orang yang membeli kartu baru dengan harga murah, registrasi dengan alamat palsu, lalu mengetik sms panas, mengirimkannya, lalu jadi berita besar di mana-mana.
SMS = Susah Melihat Orang Senang, 
Senang melihat Orang Susah

Proses penegakan hukum bisa tertekan juga oleh opini publik di jejaring sosial dan media massa, atau SMS kaleng.

Para pengirim SMS kaleng, jangan menambah masalah di tengah situasi yang sulit. Jika mau mengirim surat/SMS beri alamat yang jelas, jangan menyalah gunakan teknologi yang ada, dan memperburuk persoalan. Percayalah ... Tak akan mungkin orang hanya akan melihat isi pesan tanpa melihat siapa dan di mana pelakunya.

Para penerima SMS kaleng, anggap saja itu fitnah atau tidak benar, dan tak ada apa-apanya. Jangan bertindak dan berbuat hanya karena berdasarkan sebuah informasi dari “gelap”.

PEACE forever

(DR. dr. Irene, MKM)

Seminar HIV/AIDS Ancaman Yang Nyata Bagi Remaja di STIKES Ranah Minang Padang

STIKES Ranah Minang, Padang 1 Desember 2011

Pembukaan oleh walikota Padang 
Hari ini kita melaksanakan peringatan Hari AIDS Sedunia, dimana kita harus mengingat suatu hal penting yaitu tugas kita semua untuk menghentikan penyebaran penyakit HIV/AIDS di Indonesia, di Sumatera Barat, khususnya di Kota Padang, dan lebih dari sekedar mengingat, kita juga harus menilai apakah yang kita lakukan telah sesuai dengan apa yang kita harapkan dan apabila belum, mana-mana yang harus kita perbaiki dan tingkatkan, demikian DR. Fauzi Bahar, MSi, Walikota Padang, mengawali sambutan beliau pada saat membuka acara Seminar HIV/AIDS Ancaman Yang Nyata Bagi Remaja dalam rangka Dies Natalis STIKES Ranah Minang Yang Ke 3 dan Hari AIDS Sedunia, yang dihadiri oleh seluruh karyawan dan mahasiswa/i STIKES Ranah Minang di STIKES Ranah Minang, 1 Desember 2011.
Foto bersama usai Pembukaan Acara

Dalam sambutannya, ketua panitia dr. Wihardi Triman, MSc, mengatakan bahwa selain dihadiri oleh seluruh mahasiswa/i STIKES Ranah Minang, acara ini juga melibatkan seluruh dosen dan pegawai administrasi di STIKES Ranah Minang, sesuai dengan tema Hari AIDS 2011 “Lindungi Pekerja dan Dunia Usaha Dari HIV dan AIDS”.

Yayasan Ranah Minang siap menjadi bagian dari penanggulangan HIV di Sumatera Barat, kita akan bekerja sama dengan Dinas Kesehatan Provinsi, akan menjadikan HIV/AIDS sebagai bagian dari kurikulum dan kami akan bekerjasama dengan pihak yang terkait untuk mewujudkan hal tersebut, papar King Churcil pada sambutannya di acara yang juga dihadiri oleh Dr. H. Shofwan Karim Elha, MA, rektor Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat.

"Jangan Kucilkan Mereka,
Jauhi Penyakitnya, Bukan Orangnya"
Pertemuan ini diawali dengan testimoni dari 2 (dua) Orang Dengan HIV Positif (ODHA), yang pada kesempatan ini menyampaikan bahwa mereka tertular karena menikah dengan orang yang berperilaku berisiko. Sangat berat pada saat mengetahui status bahwa mereka telah tertular penyakit ini, tetapi selanjutnya mereka tidak akan tinggal diam. Mereka akan mendukung para ODHA lainnya, sampai saat ini mereka telah membina 484 ODHA, dimana lebih kurang 80 orang adalah ibu rumah tangga dan 8 orang diantaranya adalah Balita. “Cukup Aku”, demikian papar mereka. Walau mereka menjalani kehidupan yang berat, mereka bertekat akan terus melakukan berbagai penyuluhan dan penjangkauan, agar tak ada lagi orang-orang bernasib sama dengan mereka. Walikota Padang juga memberikan nasehat-nasehat untuk mereka dan berjanji akan membantu mereka, kalian bisa membahagiakan dan pembantu orang lain, pesan beliau usai testimoni dilakukan.

Pembicara pada seminar ini adalah DR. dr Toha Muhaimin, MSc (Ketua Yayasan Pelita Ilmu, Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Jakarta, Staf Pengajar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia) dan DR. dr. Irene, MKM (Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Barat), dimoderatori oleh dr. Efrida Aziz, MSc.

Karangan Bunga Untuk Kedua Pembicara
Pada paparan saya (DR. dr. Irene, MKM) menyampaikan materi Perkembangan HIV di Provinsi Sumatera Barat. Statistik menunjukkan bahwa kelompok yang paling rawan terhadap HIV/AIDS adalah kelompok usia 15-49 tahun, atau kelompok produktif! Di Provinsi Sumatera Barat sendiri 52,12% adalah kelompok umur 20-29 tahun, diikuti kelompok umur 30-39 tahun (33,94%). Jika kita lihat bahwa HIV itu akan menjadi AIDS setelah 5-10 tahun, maka penderita berusia 20 tahun itu diperkitakan tertular di usia 10-15 tahun, disaat mereka masih di bangku sekolah. Oleh karena itu sangat perlu kelompok ini dibekali dengan pengetahuan dan layanan, sehingga mampu melindungi dirinya dan melindungi orang lain terhadap risiko-risiko penularan HIV/AIDS. Pendidikan kesehatan reproduksi di sekolah sangatlah penting. Anak-anak mesti diberi pengetahuan yang komprehensif tentang HIV/AIDS. Kerjasama dengan institusi pendidikan sangatlah penting dilakukan. Berbagai upaya telah dilakukan Pemerintah Provinsi Sumatera Barat melalui Dinas Kesehatan dan instansi terkait lainnya. Penguatan keagamaan juga sangat membantu, apalagi 49,09% kasus di Sumatera Barat disebabkan karena Penggunaan NAPZA Suntik/IDU. Jika kita lihat jenis pekerjaan, Wiraswata 36,67%, Ibu Rumah Tangga 11,52%, lain-lain 10,91%, karyawan 6,97%, siswa/mahasiswa 6,52%, dll. Untuk itu tema hari AIDS tahun ini memang sangat mendukung, upaya menghapus diskriminasi di dunia kerja harus kita dukung.

DR. dr. Toha Muhaimin dalam menyampaikan bahwa “HIV dan AIDS ini adalah ancaman nyata bagi remaja”.

Beberapa hal penting yang disampaikan adalah sebagai berikut:

APAKAH AIDS ITU?

AIDS adalah sekumpulan gejala penyakit akibat menurunnya kekebalan tubuh.
AIDS = Acquired Immune Deficiency Syndrome.
AIDS bukan merupakan penyakit keturunan, tetapi disebabkan oleh virus.
Mereka yang mengidap AIDS amat mudah tertular oleh berbagai macam penyakit karena sistem kekebalan di dalam tubuh penderita telah menurun.
Hingga saat ini, belum ada obat yang dapat menyembuhkan AIDS.
Agar dapat terhindar dari HIV/AIDS kita semua harus tahu bagaimana cara penularan dan cara mencegahnya.


APAKAH HIV ITU?

HIV = Human Immunodeficiency Virus.
HIV adalah virus penyebab AIDS.
HIV menyerang dan menghancurkan sistem kekebalan tubuh, sehingga tubuh tidak mampu melindungi diri dari berbagai penyakit lain, seperti TBC, Malaria, Dll.
Jadi orang bukan terinfeksi AIDS, tapi tertular HIV, virus penyebab AIDS.
HIV terdapat dalam cairan tubuh orang yang telah tertular, seperti dalam: darah,
cairan mani,
cairan vagina,
air susu ibu (ASI) yang tertular HIV.

Bagaimana Tanda Orang yang Terkena HIV?
  • Tidak ada tandanya. 
  • Orang yang tertular HIV, akan tampak sehat seperti orang lain yang tidak tertular. Sebelum HIV berubah menjadi AIDS, penderitanya akan tampak sehat dalam waktu kira-kira 5 sampai 10 tahun. 
  • Penderita HIV tidak dapat dikenali hanya dengan melihatnya secara langsung. Untuk mengetahui apakah seseorang tertular HIV atau tidak, hanya tes darah untuk HIV yang mampu membuktikannya. 
  • Tetapi, walaupun tampak sehat, mereka yang tertular HIV dapat menularkannya kepada orang lain. 
Virus penyebab AIDS ini, hidup dalam darah, cairan vagina, cairan mani, air susu ibu yang tertular HIV, dan cairan infeksi penderitanya.

Bagaimana HIV Menular?

HIV dapat menular melalui perpindahan darah dari orang yang tertular HIV, yaitu:
  • Menggunakan jarum suntik, yang dipakai secara bergantian, 
  • Alat tindik telinga, 
  • Alat tato atau alat peluka (alat penembus kulit) lainnya yang tercemar HIV, yang dipakai secara bergantian, 
  • Transfusi dengan darah yang mengandung HIV 
  • Melalui perpindahan cairan tubuh dari orang yang tertular HIV, yaitu: 
  • Dari ibu hamil ke janin melalui ari-ari, 
  • Melalui darah dan cairan saat melahirkan bayinya, 
  • Melalui cairan ASI ketika menyusui bayi,
 
  • Melalui hubungan seks dengan orang yang tertular HIV: Genital (kelamin dengan kelamin), Oral (mulut dengan kelamin), Anal (dubur dengan kelamin). 
HIV atau bibit penyakit lain akan mudah memasuki tubuh jika ada luka atau lecet pada alat kelamin. Karena itu, sangat besar risikonya melakukan hubungan seks tanpa kondom. Risiko itu akan semakin besar lagi jika sering berganti-ganti pasangan.

Perilaku Berisiko Tertular HIV

Karena HIV menular melalui perpindahan darah dan perpindahan cairan tubuh, maka semua kegiatan yang berhubungan dengan keduanya merupakan kegiatan yang berisiko. Perilaku Berisiko Tertular HIV adalah Hubungan Seks Tanpa Kondom dan Bergantian Jarum Suntik

Berhubungan seks dengan lebih dari satu pasangan, atau berganti-ganti pasangan dan tanpa kondom. Dalam hubungan seks, cairan tubuh dari pasangan seks (cairan vagina atau cairan mani) akan masuk ke dalam tubuh kita. Jika salah satu dari pasangan seks kita tertular HIV, maka virus tersebut juga akan terbawa dalam cairan vagina atau cairan mani, terlebih apabila pada organ seks kita terdapat luka, virus akan lebih mudah masuk.

Perilaku berisiko lainnya adalah menggunakan jarum suntik secara bergantian pada penggunaan narkoba sangat berisiko terjadinya penularan HIV. Penggunaan alat tato dan alat tindik telinga yang tidak steril, juga tergolong kegiatan yang berisiko. Mengapa? Karena darah dari orang lain akan dapat dengan mudah masuk ke dalam pembuluh darah kita. Jika dalam darah tersebut terdapat HIV, maka virus tersebut juga akan masuk ke dalam tubuh kita.

HIV Tidak Menular Melalui:

Kegiatan-kegiatan sosial seperti:
 gigitan serangga, bersalaman, bersentuhan,
 berpelukan bahkan berciuman, menggunakan peralatan makan bersama, menggunakan jamban bersama,
 bahkan tinggal serumah dengan orang yang terpapar HIV. Jadi, meskipun kita melakukan kegiatan-kegiatan sosial atau bahkan tinggal serumah dengan orang yang sudah terpapar HIV, kita tidak perlu khawatir akan tertular selama kita tidak melakukan perilaku berisiko.

Bagaimana HIV Menjadi AIDS?

Pada tahap awal, ketika HIV memasuki tubuh, tidak terdapat tanda- tanda khusus sehingga belum dapat diketahui dari tes HIV. Tahap ini disebut dengan periode jendela, berkisar antara 1 hingga 3 bulan bahkan ada yang hingga 6 bulan (HIV masih ‘bersembunyi’, belum bisa dideteksi).
Pada tahap kedua, HIV telah berkembang biak dalam tubuh sehingga dapat diketahui dari tes HIV. Orang yang tertular HIV tetap tampak sehat selama 5 sampai 10 tahun, dikenal dengan masa laten HIV/AIDS.
Pada tahap ketiga, sistem kekebalan tubuh semakin menurun, orang yang HIV+ akan mulai menampakkan gejala-gejala AIDS. Misalnya ditandai dengan adanya pembengkakan kelenjar limfa pada seluruh tubuh. Tahap ini kira-kira berlangsung selama lebih dari 1 bulan.
Pada tahap akhir, ketika sudah menjadi AIDS, penderita akan semakin lemah kondisinya akibat berbagai penyakit yang tidak dapat dilawan oleh sistem kekebalan tubuhnya. Penderita ini, pada akhirnya cepat atau lambat akan meninggal, tergantung dari kondisi penyakit yang dideritanya.

Mereka yang mengidap AIDS biasanya memiliki sedikitnya 2 dari 3 gejala utama dan 1 dari 5 gejala minor.

Gejala-gejala utama (mayor) AIDS adalah:
  • Demam berkepanjangan yang dapat lebih dari 3 bulan, 
  • Diare kronis lebih dari 1 bulan, baik berulang maupun terus menerus, 
  • Adanya penurunan berat badan hingga lebih dari 1/10 (sepersepuluh) berat badan semula, dalam 3 bulan. 
Sedangkan gejala-gejala minor adalah:
  • 
Batuk kronis (selama lebih dari satu bulan),
 
  • infeksi pada mulut dan tenggorokan yang disebabkan oleh jamur Candida albicans, 
  • Adanya pembengkakan kelenjar getah bening, yang menetap di seluruh tubuh, 
  • Munculnya Herpes zoster berulang,
 
  • Bercak-bercak gatal di seluruh tubuh. 
Sumber : Pribadi (DR. dr. Irene, MKM)

Senin, 05 Desember 2011

HARI AIDS SEDUNIA PROVINSI SUMATERA BARAT

Jumlah kumulatif kasus HIV di Provinsi Sumatera Barat sejak pertama kali ditemukan tahun 1992 sebanyak 1 orang melalui sero survey sampai dengan bulan Juni 2011 tercatat sebanyak 663 kasus. Sampai dengan Desember 2010 tercatat 624 kasus HIV/AIDS di RS Rujukan (72 HIV dan 552 AIDS). Pada tahun 2011, sampai dengan Juni 2011 tercatat 39 kasus (3 HIV dari sero survey dan 36 AIDS dari RS). Pada tahun 2010 sebayak 128 kasus.

Jika dilihat dari Data Nasional (Kemenkes, Juni 2011), terlihat bahwa Provinsi Sumatera Barat adalah peringkat 13 dari 33 provinsi di Indonesia.

Jika dilihat dari penularan, maka penularan terbanyak adalah melalui Pengguna NAPZA suntik/IDU 49,09%, diikuti heteroseksual 29,09% dan jika dilihat dari pekerjaan, yang tertinggi adalah 36,67% dan ibu rumah tangga 11,52%.

Tingkat perkembangan kasus meningkat dari tahun ke tahun disebabkan karena akses yang meningkat (adanya beberapa klinik VCT dan konselor disemua kabupaten/kota), sehingga kasus ditemukan dan diharapkan dapat memutus rantai penularan. Saat ini seluruh Kabupaten/Kota sudah mempunyai kasus HIV/AIDS.

Beberapa peraturan yang mendukung di Provinsi Sumatera Barat adalah:
  • SK Gubernur Sumbar No. 15/1994 tentang KPA Provinsi, direvisi SK Gubernur 21/2004, direvisi SK Gubernur Provinsi Sumatera Barat Nomor 440-108-2008. 
  • Perda 11/2001 tentang Pemberantasan Maksiat. 
  • SK Gubernur Sumatera Barat No. 400-286-2002 tentang Tim Koordinasi Pencegahan dan Pemberantasan Maksiat. 
  • Keputusan Gubernur Sumbar No. 4 tahun 2003 tentang Pedoman Gerakan Kembali Ke Surau dalam upaya mengoptimalkan peran agama dan adat istiadat 
Respons Dinas Kesehatan terhadap epidemi sudah ada sejak tahun 1992, 5 (lima) tahun setelah kasus AIDS ditemukan di Indonesia pada tahun 1987, dan terus meningkat sejalan dengan meningkatnya jumlah kasus, penyebaran dan masalah yang dihadapi, antara lain ditandai dengan:
  • Adanya Renstra Dinas Kesehatan Tahun 2010-2014 
  • Adanya POKJA Pengendalian HIV-AIDS Dinas Kesehatan yang dibentuk tahun 2008 
  • Meningkatnya Pembiayaan Pengendalian HIV-AIDS melalui APBD khususnya pengadaan Obat ARV, jasa konseling, dan lain-lain. 
  • Sampai dengan bulan Oktober 2011 telah tersedia berbagai layanan seperti antara lain: 
  • Sebanyak 8 layanan Konseling dan Tes HIV yang aktif melakukan layanan
 
  • Adanya konselor di semua kabupaten/kota 
  • Sebanyak 2 (dua) layanan yang aktif melakukan pengobatan ARV. Seluruh obat ARV diberikan secara cuma-cuma kepada semua pasien yang memerlukannya diseluruh Indonesia. 
  • Sebanyak 1 (satu) layanan yang melakukan Program Terapi Rumatan Metadon 
  • Sebanyak 2 (dua) Puskesmas dapat melakukan LJSS 
  • Sebanyak 2 (dua) layanan kesehatan diperkuat layanan IMSnya 
  • Sebanyak 1 (satu) layanan dapat melakukan PMTCT 
  • Secara bertahap jumlah layanan akan ditingkatkan, sehingga masyarakat makin mudah untuk mengakses layanan tersebut. 
Kegiatan pengendalian HIV-AIDS dan IMS (Infeksi Menular Seksual) di Indonesia, meliputi:
  • Memperkuat aspek legal pengendalian HIV-AIDS dan IMS. 
  • Melaksanakan advokasi dan sosialisasi termasuk Komunikasi Informasi dan Edukasi (KIE) dan Intervensi Perubahan Perilaku (IPP) 
  • Pengembangan sumber daya manusia 
  • Memperkuat jejaring kerja dan meningkatkan partisipasi masyarakat
 
  • Memperkuat logistic 
  • Meningkatkan konseling dan tes HIV 
  • Meningkatkan perawatan, dukungan dan pengobatan 
  • Meningkatkan pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak. 
  • Meningkatkan pengendalian IMS 
  • Meningkatkan program pengurangan dampak buruk 
  • Meningkatkan pengamanan darah donor dan produk darah 
  • Meningkatkan kewaspadaan Universal 
  • Meningkatkan kolaborasi TB-HIV 
  • Meningkatkan surveilans epidemiologi dan pengembangan sistem informasi 
  • Monitoring dan evaluasi 
  • Mengembangkan dan memperkuat sistem pembiayaan. 
PERINGATAN HARI AIDS SEDUNIA DI SUMATERA BARAT

Tema peringatan tahun ini adalah “Lindungi Pekerja dan Dunia Usaha Dari HIV dan AIDS”. Sub-Tema: “Penanggulangan HIV dan AIDS di Tempat Kerja sebagai bagian dari Peningkatan Keselamatan dan Kesehatan Kerja”, serta Slogan untuk kampanye adalah : ”STOP HIV dan AIDS, Hapuskan Stigma dan Diskriminasi di Dunia Kerja”

Bentuk Kegiatan yang dilakukan di Provinsi Sumatera Barat antara lain meliputi:
  1. Advokasi 
  2. TOT Penyuluh HIV bekerja sama dengan PBOX AISEC Pertemuan Penguatan TB-HIV (2 Desember 2011) 
  3. Pertemuan Konsolidasi IMS (Padang dan Bukittinggi pada bulan Desember 2011) 
  4. Siaran Pers (Pers Release), 
  5. Konferensi Pers, melalui media cetak. 
  6. Penyuluhan kelompok atau masal; 
  7. Launching Layanan PTRM di RS. M. Jamil Padang (Desember 2011) 
  8. Promosi Kesehatan melalui :
    • Media cetak seperti pemasangan banner di hot spot area (banner untuk kelompok populasi kunci); poster di kantor-kantor pemerintah dan swasta (banner untuk komponen masyarakat umum) serta poster di sekolah dan perguruan tinggi (banner untuk kelompok remaja/pemuda); 
    • Publikasi melalui media cetak (koran, majalah, tabloid, flyer dll.); 
    • Sosialisasi melalui media elektronik seperti : 
    • Wawancara di radio (RRI Padang: 2 Desember 2011) 
    • Dialog interaktif di TV (TVRI: Desember 2011) 
  9. Pemberian bantuan kepada ODHA dan OHIDHA yang memiliki ketrampilan tertentu melalui BAZDA dan KIUR. 
  10. Sosialisasi HIV dan AIDS melalui kegiatan keagamaan 
  11. Seminar, Round Table Discussion, Pertemuan Ilmiah, tentang HIV dan 
AIDS 
  12. PBOX HIV/AIDS bekerjasama dengan AISEC Unand di BRI Lapau Gadang 14 November 2011 
  13. Seminar HIV/AIDS Ancaman Yang Nyata Bagi Remaja dalam rangka Dies Natalis STIKES Ranah Minang Yang Ke 3 dan Hari AIDS Sedunia, yang dihadiri oleh seluruh karyawan dan mahasiswa/i STIKES Ranah Minang di STIKES Ranah Minang, 1 Desember 2011 
  14. Sosialisasi HIV AIDS di Kabupaten Padang Pariaman 
  15. Kegiatan Bakti Sosial antara lain meliputi: 
  16. Konseling HIV dan AIDS, 
  17. Mobile VCT dan IMS di Penjara, Populasi Berisiko Tinggi (WPS, Karaoke, Bar), Waria, dll 
  18. Pelayanan Kondom dll. 
  19. Acara Puncak 
    • Upacara 
    • Senam Massal (7 Desember 2011) 
Selain itu juga diikuti dengan berbagai acara yang dilakukan oleh masing-masing kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Barat

Penulis: Pribadi (DR. dr. Irene, MKM)






Kamis, 01 Desember 2011

Pembentukan KPA Kabupaten Padang Pariaman

Pariaman, 30 November 2011


Satu lagi KPAK di Provinsi Sumatera Barat terbentuk


Pada tanggal 30 November 2011, Pemerintah Kabupaten Padang Pariaman, membentuk KPAK Kabupaten Padang Pariaman, melalui sebuah pertemuan yang dilakukan di Aula RM Pauh Kabupaten Padang Pariaman.
Diawali dengan pembukaan oleh Sekretaris Kabupaten Padang Pariaman, yang memaparkan bahwa KPAK ini harus segera dibentuk, karena masalah HIV/AIDS ini, saat ini bukan hanya menjadi masalah Dinas Kesehatan dan Rumah Sakit saja. HIV di Padang Pariaman sudah merupakan masalah yang serius.

Dalam presentasi saya menyampaikan bahwa :
Sampai dengan Desember 2010 tercatat 624 kasus HIV/AIDS di RS Rujukan (72 HIV dan 552 AIDS) dan sampai Juni 2011 tercatat 39 kasus (3 HIV dari sero survey dan 36 AIDS dari RS). Di Kabupaten Padang Pariaman sendiri ada 32 kasus (28 AIDS dan 4 HIV).

Dasar kebijakan
 dalam rangka meningkatkan upaya pencegahan, pengendalian, dan penanggulangan AIDS perlu dilakukan langkah-langkah strategis untuk menjaga kelangsungan penanggulangan AIDS dan menghindari dampak yang lebih besar di bidang kesehatan, sosial, politik, dan ekonomi maka Pemerintah Republik Indonesia telah menetapkan suatu kebijakan berupa Peraturan Presiden Republik lndonesia Nomor 75 Tahun 2006 tentang Pembentukan Komisi Penanggulangan AIDS Nasional. Pembentukan Komisi Penanggulangan AIDS Nasional dimaksudkan pula untuk menyempurnakan tugas dan fungsi keanggotaan Komisi Penanggulangan AIDS yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1999 sehingga diharapkan dapat meningkatkan efektivitas koordinasi Penanggulangan AIDS yang lebih intensif, menyeluruh, dan terpadu.

Komisi Penanggulangan AIDS Nasional berada dibawah dan bertanggungjawab kepada Presiden. Dalam melaksanakan tugas- tugasnya sehari-hari dibantu dan dilaksanakan oleh Tim Pelaksana yang diketuai oleh Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS Nasional. Susunan keanggotaan Tim Pelaksana terdiri dari unsur-unsur pejabat instansi terkait, organisasi profesi, tenaga profesional, dan pihak lain yang ditetapkan oleh Ketua Komisi Penanggulangan AIDS Nasional. Untuk kelancaran pelaksanaan tugas-tugasnya, Ketua Komisi Penanggulangan AIDS Nasional membentuk Kelompok Kerja. Sebagaimana dijelaskan dalam Bab III pasal 8, untuk kelancaran pelaksanaan tugas di tingkat Provinsi dan Kabupaten dibentuk pula Komisi Penanggulangan AIDS Tingkat Provinsi dan Kabupaten yang diketuai oleh Gubernur dan Bupati.

Untuk mendukung kelancaran pelaksanaan KPA Nasional dalam menjalankan tugas-tugas pokoknya maka Gubernur dan Bupati/Walikota wajib membentuk Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi dan Komisi Penanggulangan AIDS Daerah Kabupaten/Kota yang mempunyai tugas merumuskan kebijakan, strategi dan langkah-langkah yang diperlukan dalam rangka penanggulangan AIDS di wilayahnya sesuai kebijakan, strategi, dan pedoman yang ditetapkan oleh Komisi Penanggulangan AIDS Nasional.

Pembentukan Komisi Penanggulangan AIDS Daerah (KPAD) Kabupaten, ditetapkan dengan Surat Keputusan Bupati, bertujuan
 untuk :
  • Mengurangi tingkat penularan HIV/AIDS.
 
  • Menciptakan suasana lingkungan yang kondusif guna memudahkan diselenggarakannya upaya pencegahan, pengobatan serta perawatan yang komprehensif pengidap HIV/ AIDS. 
  • Meningkatkan kemampuan penanggulangan untuk mencegah, mengobati, dan merawat serta memberikan dukungan kepada pengidap HIV dan AIDS. 
  • Meningkatkan koordinasi dan kerjasama antar sektor pemerintah, LSM serta swasta, dan lembaga donor guna memudahkan penyelenggaraan kegiatan. 
Tugas-tugas Pokok
 dari KPAD adalah
  • Menyusun rencana kebijakan pencegahan dan penanggulangan AIDS.
 
  • Melaksanakan pengamatan epidemiologi pada kelompok penduduk yang beresiko tinggi tertular dan menjadi penular/penyebar AIDS.
 
  • Memberikan penyuluhan bahaya dan cara pencegahan AIDS bagi masyarakat.
 
  • Menyebarluaskan informasi AIDS melalui berbagai media massa dalam kaitannya pemberitaan secara tepat dan cepat serta tidak menimbulkan keresahan pada masyarakat umum.
 
  • Membentuk beberapa kelompok kerja yang terdiri dari : Kelompok kerja konseling dan penyuluhan, Kelompok Kerja Survailans, Kelompok kerja pomberdayaan pengidap HIV/AIDS, dan Kelompok perawatan penderita HIV/AIDS.
 
  • Melaporkan dan bertanggungjawab atas pelaksanaan tugas kepada Bupati. 
Struktur 
Pembentukan KPAD diketuai oleh Bupati dan disesuaikan dengan pedoman yang ada dan untuk kelancaran pelaksanaan tugas KPAD dibentuk pula Sekretariat KPAD Kabupaten.

Sumber : Pribadi (DR. dr. Irene, MKM)








Selasa, 29 November 2011

Penyusunan Rencana Kontijensi Bencana Dinas Kesehatan Sumatera Barat

Bukittinggi, 27 November 2011

Sebanyak lebih kurang 50 peserta yang berasal dari Dinas Kesehatan di 12 Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Barat (Kota Padang, Kota Bukittinggi, Kota Pariaman, Kabupaten Tanah Datar, Kabupaten Agam, Kabupaten Padang Pariaman, Kabupaten Pesisir Selatan, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Kabupaten Solok dan Kabupaten Solok Selatan) mengikuti Pelatihan Rencana Kontigensi Bidang Kesehatan, pada tanggal 27 November sampai 1 Desember 2011 di Hotel Parai Bukittinggi, Jalan Raya Bukittinggi – Medan Km. 7 Bukittinggi.

“Selama 5 hari mulai hari Minggu, peserta akan mengikuti pelatihan, dari kegiatan ini diharapkan menghasilkan dokumen rencana kontijensi masing-masing kabupaten kota di Bidang Kesehatan yang disepakati seluruh lintas program, sehingga saat kondisi tanggap darurat dapat dipakai sebagai rencana operasional” kata Jasmarizal, SKep, MARS, kepala seksi Penanggulangan Bencana Dinas Kesehatan Sumatera Barat, saat memberi laporan pada pembukaan acara tersebut.

Rencana kontijensi di serahkan kepada masing-masing daerah. Mereka yang tahu kondisi daerah dan warganya. Masing-masing daerah akan berbeda rencana kontijensinya, tergantung potensi bencana yang ada. Secara geografis, Geologis dan Demografis wilayah Sumatera Barat memiliki potensi bencana yang beragam seperti gempa, tanah longsor, gunung api, kekeringan, banjir dan lain-lain. Dinas Kesehatan sudah menyusun kebijakan, strategi, dan Tim Penanggulangan Bencana melalui SK Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Barat Nomor 360/10/P2B/VI/2011 tentang Tim Penanggulangan Bencana Provinsi Sumatera Barat, demikian saya sampaikan saat membuka acara tersebut secara resmi yang dilanjutkan dengan menyampaikan materi Kebijakan Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Barat Dalam Penanggulangan Bencana.
(materi lengkap dapat di download di : http://www.scribd.com/doc/74113435)

Minggu, 27 November 2011

Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit Di Pengungsian Pasca Bencana Edisi 2

Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit Campak

a. Pencegahan penyakit Campak pada bencana

Pada dasarnya upaya pencegahan penyakit campak adalah pemberian imunisasi pada usia yang tepat. Pada saat bencana, kerawanan terhadap penyakit ini meningkat karena:
  • Memburuknya status kesehatan, terutama status gizi anak-anak. 
  • Konsentrasi penduduk pada suatu tempat/ruang (pengungsi). 
  • Mobilitas penduduk antar wilayah meningkat (kunjungan keluarga). 
  • Cakupan imunisasi rendah yang akan meningkatkan kerawanan yang berat. 
Oleh karena itu pada saat bencana tindakan pencegahan terhadap penyakit campak ini dilakukan dengan melaksanakan imunisasi, dengan kriteria:
  • Jika cakupan imunisasi campak didesa yang mengalami bencana >80%, tidak dilaksanakan imunisasi massal (sweeping). 
  • Jika cakupan imunisasi campak di desa bencana meragukan maka dilaksanakan imunisasi tambahan massal (crash program) pada setiap anak usia kurang dari 5 tahun (6–59 bulan), tanpa memandang status imunisasi sebelumnya dengan target cakupan >95%. 
  • Bila pada daerah tersebut belum melaksanakan imunisasi campak secara rutin pada anak sekolah, imunisasi dasar juga diberikan pada kelompok usia sekolah dasar kelas 1 sampai 6.
Seringkali karena suasana pada saat dan pasca-bencana tidak memungkinkan dilakukan imunisasi massal, maka diambil langkah sebagai berikut:
  1. Pengamatan ketat terhadap munculnya penderita campak. 
  2. Jika ditemukan satu penderita campak di daerah bencana, imunisasi massal harus dilaksanakan pada kelompok pengungsi tersebut, dengan sasaran anak usia 5–59 bulan dan anak usia sekolah kelas 1 sampai 6 SD (bila belum melaksanakan BIAS campak) sampai hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan penderita positif terkena campak. Imunisasi tambahan massal yang lebih luas dilakukan sesuai dengan kriteria imunisasi tersebut. 
  3. Jika diterima laporan adanya penderita campak di luar daerah bencana, tetapi terdapat kemudahan hubungan (kemudahan penularan) dengan daerah bencana, penduduk di desa tersebut dan daerah bencana harus diimunisasi massal (sweeping) sesuai kriteria imunisasi.
b. Sistem tatalaksana penderita Campak
Berikut adalah sistem tatalaksana penderita campak.

1. Rujukan Penderita Campak dari Masyarakat – Pos Kesehatan
  • Pada saat bencana, setiap keluarga, kepala ketua kelompok pengungsi, kepala desa mendorong setiap anggota keluarganya yang menderita sakit panas untuk segera berobat ke pos kesehatan terdekat (termasuk penderita campak).
  • Petugas menetapkan diagnosis dan tatalaksana penderita campak dengan benar dan segera melaporkan ke petugas pengamatan penyakit.
2. Tatalaksana Kasus
Batasan Kasus Campak:
  • Menderita sakit panas (diraba atau diukur dengan 
termometer 39 derajat Celcius) 
  • Bercak kemerahan 
  • Dengan salah satu gejala tambahan: batuk, pilek, 
mata merah, diare. Komplikasi berat campak: Bronchopneumonia, Radang telinga tengah, Diare 
3. Langkah-Langkah Tatalaksana
Penetapan diagnosa berdasarkan batasan diagnosa dan komplikasi, yaitu :
  • Panas kurang dari 3 hari, atau panas tanpa bercak kemerahan dan tidak diketahui adanya diagnosa lain, maka:

    • Berikan: obat penurun panas (parasetamol) 

    • Anjuran: 
      • Makan dan minum yang banyak 
      • Membersihkan badan 
      • Jika timbul bercak kemerahan atau sakitnya 
semakin memberat/belum sembuh, berobat kembali ke pos kesehatan. 
  • Panas dan bercak kemerahan dengan salah satu gejala tambahan (panas 3 – 7 hari). 

    • Berikan: 
      • Penurun panas (parasetamol) 
      • Antibiotik (ampisilin, kotrimoksa-sol), lihat 
tatalaksana ISPA 
      • Vitamin A 
      • Oralit 

    • Anjuran: 
      • Makan dan banyak minum 
      • Membersihkan badan 
      • Jika timbul komplikasi: diare hebat, sesak 
napas atau radang telinga tengah (menangis, 
rewel), segera kembali ke pos kesehatan. 
      • Jika 3 hari pengobatan belum membaik, 
segera kembali ke pos kesehatan. 

c. Penyelidikan dan Penanggulangan KLB Campak

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penyelidikan dan penanggulangan KLB campak, antara lain:

1. Sumber informasi kasus campak
  • Pelaksanaan pengamatan penyakit.
 
  • Laporan petugas penanggulangan bencana.
 
  • Laporan masyarakat (kepala desa, ketua kelompok pengungsi atau anggota masyarakat lain). 
2. Kriteria KLB
Satu kasus di daerah bencana pada keadaan bencana adalah KLB (masa darurat, masa rehabilitasi).

3. Langkah-Langkah Penyelidikan
  • Penetapan diagnosa. 
  • Mencari kasus tambahan dengan pelacakan 
lapangan, informasi semua kepala desa, ketua kelompok pengungsi dan keluarga di daerah bencana. 
  • Membuat grafik penderita berdasarkan waktu kejadian kasus. 
  • Membuat pemetaan kasus. 
  • Menetapkan daerah dan kelompok yang banyak 
penderita. 
  • Menetapkan daerah atau kelompok yang terancam 
penularan, karena alasan kemudahan hubungan dan 
alasan rendahnya cakupan imunisasi. 
  • Melaksanakan upaya pencegahan dan melaksanakan sistem tatalaksana penderita campak. 

Catatan: Pada saat imunisasi massal, pisahkan antara yang sakit dan yang sehat.

4. Melaksanakan pengamatan (surveilans) ketat selama KLB berlangsung, dengan sasaran pengamatan:
  • Penderita: peningkatan kasus, wilayah penyebaran 
dan banyaknya komplikasi dan kematian. 
  • Cakupan imunisasi setelah imunisasi massal. 
  • Kecukupan obat dan sarana pendukung penanggulangan KLB. 

5. Penggerakkan kewaspadaan terhadap penderita campak dan pentingnya pencegahan:
  • Kepala Wilayah: pengarahan penggerakkan 
kewaspadaan. 
  • Menyusun sistem tatalaksana penderita campak. 
  • Dukungan upaya pencegahan (imunisasi massal).

Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit Di Pengungsian Pasca Bencana Edisi 1


Pentingnya Imunisasi Pasca Bencana

Sharing berita:
http://www.unicef.org/indonesia/id/reallives_12814.html
http://www.supportunicefindonesia.org/index.php/campaign/detil/133/id

Pola pengungsian di Indonesia sangat beragam mengikuti jenis bencana, lama pengungsian dan upaya persiapannya. Pengungsian pola sisipan yaitu pengungsi menumpang di rumah sanak keluarga. Pengungsian yang terkonsentrasi di tempat-tempat umum atau di barak-barak yang telah disiapkan. Pola lain pengungsian yaitu di tenda-tenda darurat disamping kanan kiri rumah mereka yang rusak akibat bencana.

Apapun pola pengungsian yang ada akibat bencana tetap menimbulkan masalah kesehatan. Masalah kesehatan berawal dari kurangnya air bersih yang berakibat pada buruknya kebersihan diri dan sanitasi lingkungan yang menyebabkan perkembangan beberapa penyakit menular.

Pelayanan Kesehatan Yang Dibutuhkan Oleh Pengungsi meliputi:
  1. Pelayanan Kesehatan Dasar
  2. Pelayanan kesehatan jiwa 
  3. Pelayanan promosi kesehatan 
  4. Pencegahan dan pemberantasan penyakit menular 
Pelayanan Kesehatan Dasar

Pelayanan kesehatan dasar yang diperlukan pengungsi meliputi:
  • Pelayanan pengobatan 
  • Pelayanan imunisasi 
  • Pelayanan kesehatan ibu dan anak 
  • Kesehatan Ibu dan Anak (pelayanan kehamilan, persalinan, nifas dan pasca-keguguran). 
  • Keluarga berencana (KB) 
  • Deteksi dini dan penanggulangan IMS dan HIV/AIDS 
  • Kesehatan reproduksi remaja 
 
  • Pelayanan gizi 
 
  • Pemberantasan penyakit menular dan pengendalian vektor
 
Beberapa jenis penyakit yang sering timbul di pengungsian dan memerlukan tindakan pencegahan karena berpotensi menjadi KLB antara lain: campak, diare, cacar, malaria, varicella, ISPA, tetanus. 

Pelaksanaan pengendalian vektor yang perlu mendapatkan perhatian di lokasi pengungsi adalah pengelolaan lingkungan, pengendalian dengan insektisida, serta pengawasan makanan dan minuman. 

Pada pelaksanaan kegiatan surveilans bila menemukan kasus penyakit menular, semua pihak termasuk LSM kemanusiaan di pengungsian harus melaporkan kepada Puskesmas/Pos Yankes di bawah koordinasi Dinas Kesehatan Kabupaten sebagai penanggung jawab pemantauan dan pengendalian.

Pencegahan dan pemberantasan penyakit menular

Vaksinasi, Sebagai prioritas pada situasi pengungsian, bagi semua anak usia 6 bulan – 15 tahun menerima vaksin campak dan vitamin A dengan dosis yang tepat.

Masalah umum kesehatan di pengungsian, Beberapa jenis penyakit yang sering timbul di pengungsian memerlukan tindakan pencegahan. Contoh penyakit tersebut antara lain, diare, cacar, penyakit pernafasan, malaria, meningitis, tuberkulosa, tifoid, cacingan, scabies, xeropthal-mia, anemia, tetanus, hepatitis, IMS/HIV-AIDS

Manajemen kasus, Semua anak yang terkena penyakit menular selayaknya dirawat agar terhindar dari risiko penularan termasuk kematian.

Surveilans, Dilakukan terhadap beberapa penyakit menular dan bila menemukan kasus penyakit menular, semua pihak termasuk LSM kemanusiaan di pengungsian, harus melaporkan kepada Puskesmas dibawah koordinasi Dinas Kesehatan Kabupaten sebagai penanggung jawab pemantauan dan pengendalian

Pada posting berikutnya akan diulas mengenai Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit Campak Pada Bencana......
http://irenesusilo.blogspot.com/2012/02/pencegahan-dan-penanggulangan-penyakit.html

(DR. dr. Irene, MKM)

Bencana Gunung Merapi

ANALISIS SITUASI BENCANA GUNUNG MARAPI
TIM SIAGA BENCANA DINAS KESEHATAN PROVINSI SUMATERA BARAT


1. PENDAHULUAN

Gunung Marapi terletak pada posisi geografi 00 22’ 47,72” LS dan 1000 28’ 16,71” BT, di Kabupaten Agam dan Kabupaten Tanah Datar dengan ketinggian 2891,3 m di atas permukaan laut. Gunung Marapi merupakan gunung api tipe A yang teraktif di Pulau Sumatera, termasuk dalam rangkaian pegunungan Bukit Barisan pada jalur Barat Laut – Tenggara, dan terdapat banyak lubang kawah disekitar puncaknya berupa lapangan solfatara dan fumarola dengan nama-nama kawah tersebut adalah: Kaldera Bancah (A), Kapundan Tuo (B), Kabun Bungo (C), Kapundan Bongso (D), Kawah Verbeek atau Kapundan Tengah (D4). Semuanya merupakan pusat erupsi dengan lebar lubang antara 175 – 600 m dan panjang 1200 m.
Kegiatannya sangat aktif, sering terjadi letusan-letusan bertipe strombolian, dengan tinggi letusan mencapai 600 m dari bibir kawah. Titik letusannya kadang berpindah mengikuti kelurusan timur – barat daya sepanjang kawah tuo dan kawah bongso. Periode letusannya berlangsung hanya beberapa hari, minggu atau bulan, dengan masa istirahat antara 1 tahun hingga 20 tahun. Bukaan kawah G.Marapi agak mengarah ke sebelah selatan dan barat laut, namun secara umum tampak seperti kerucut terpancung. Kawasan rawan bencana III yang berpotensi dilanda oleh bahaya aliran massa adalah berjarak sekitar 5 km dari puncak, daerah tersebut termasuk pada Peta Daerah Bahaya.


HIV AIDS : Jauhi Penyakitnya, Bukan Orangnya


Sabtu, 26 November 2011

Kusta dan Cacat .... Aku Masih Seperti Yang Dulu

Lintas Berita:

Berita 1990 : http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1990/01/20/KSH/mbm.19900120.KSH17809.id.html

Berita 2010 : http://www.youtube.com/watch?v=RsMQoQo82zc

Kusta merupakan masalah kesehatan masyarakat karena cacatnya. Cacat kusta terjadi akibat gangguan fungsi saraf pada mata, tangan atau kaki. Sayangnya, orang-orang yang cacat akibat kusta “dicap” seumur hidup sebagai “penderita kusta” walaupun sudah sembuh dari penyakit. Sementara sebenarnya hampir semua cacat dapat dicegah!
Untuk menilai kualitas penanganan pencegahan cacat yang dilakukan oleh petugas, maka semua pasien kusta dinilai tingkat cacatnya sesuai dengan petunjuk WHO. Pemeriksaan dilakukan pada mata, tangan dan kaki.

Mata diperiksa apakah kelopak mata sulit menutup,
Tangan diperiksa apakah ada lunglai, mati rasa pada telapak, luka atau ulkus akibat mati rasa, pemendekan jari atau kelemahan otot,
Kaki diperiksa apakah ada lunglai (semper), mati rasa pada telapak kaki, luka , atau pemendekan jari.
Kalau ada cacat akibat kerusakan saraf dan cacat itu kelihatan (borok, luka, jari kiting, lunglai, pemendekan, mata tidak dapat menutup erat, luka pada cornea), maka diberi tingkat cacat 2. Kualitas penemuan penderita juga dapat dinilai dengan melihat proporsi tingkat cacat 2 di antara penderita baru.

Petugas harus memperhatikan penderita yang cacat tetap dan menentukan tindakan perawatan diri apa yang perlu dilakukan penderita itu. Petugas jangan hanya memberikan ceramah kepada penderita, tetapi peragakan tindakan-tindakan itu dan bantulah penderita supaya dia dapat melakukannya sendiri.

Penderita harus mengerti bahwa pengobatan MDT sudah (atau akan) membunuh bakteri kusta. Tetapi cacat pada mata, tangan atau kakinya yang terlanjur terjadi akan tetap ada seumur hidupnya, sehingga dia harus bisa melakukan perawatan diri dengan rajin agar cacatnya tidak bertambah berat.

Prinsip pencegahan bertambahnya cacat pada dasarnya adalah 3 M :
  1. Melindungi mata, tangan dan kaki dari trauma fisik
  2. Memeriksa mata, tangan dan kaki secara teratur
  3. Melakukan perawatan diri
Semoga bermanfaat.......

(DR. dr.Irene, MKM)






Insiden dan Kecacatan Kusta

Sabtu, 26 November 2011

Saya menjadi pemateri pada "Simposium dan Workshop: Diagnosis dan Pencegahan Cacat Kusta" yang diadakan oleh Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin – Perdoski, dengan judul “Insiden dan Kecacatan Kusta di Provinsi Sumatera Barat”.

Penyakit kusta merupakan penyakit menular menahun yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium leprae yang terutama menyerang saraf tepi, kulit dan organ tubuh lain kecuali susunan saraf pusat.

Penyakit kusta tersebar diseluruh dunia dengan endemisitas yang berbeda-beda. Walaupun ada penurunan yang cukup drastis dari jumlah kasus terdaftar, namun sesungguhnya jumlah penemuan kasus baru (New Case Detection) tidak berkurang sama sekali. Oleh karena itu, selain angka prevalensi, angka penemuan kasus baru (NCDR) juga merupakan indikator yang harus diperhatikan. Karena walaupun suatu negara telah mencapai eliminasi, tidak berarti bahwa kusta tidak lagi menjadi masalah. Nampaknya kasus kusta akan terus ada setidaknya hingga beberapa tahun ke depan, hingga kesinambungan program kusta harus tetap dijamin.

Sumatera Barat telah mencapai eliminasi kusta pada tahun 1998, namun kasus kusta dari tahun ke tahun tetap bermunculan. Sumatera Barat termasuk Daerah Low Endemik Kusta. Angka Kasus Cacat Tingkat 2 dan Kasus Anak menunjukkan bahwa kinerja dalam penemuan kasus masih harus perlu ditingkatkan.

Pandangan keliru tentang kusta harus diubah:
  1. Penderita dengan lesi kulit : harus ke Sarana Pelayanan Kesehatan untuk didiagnosa dan terapi.
  2. Petugas kesehatan: Tidak Kesampingkan Kusta pada kelainan kulit.
  3. Pemuka masyarakat: Berdiri di "depan" dalam perangi stigma dan diskriminasi.
  4. Anggota masyarakat: Menerima "kusta dan penderitanya".
  5. Pengambil keputusan: "Komitmen Politis"
"Bersama kita bisa cegah kecacatan kusta".....Cari Peluang Untuk ACTION.
Bravo Perdoski Cabang Padang, yang telah mengangkat tema "Leprosy" pada sebuah simposium.

(DR. dr. Irene, MKM)

Materi Lengkap dapat di di download di:

Nagari Peduli TB di Sumatera Barat

Poster Nagari Peduli TB _ Irene

Minggu, 02 Oktober 2011

Daftar Isi

Malaria

MALARIA
ICD-9 061; 084; ICD-10 B50-B54
(Manual Pemberantasan Penyakit Chin J & Kandun I, 2000)

1. Identifikasi
Ada empat jenis parasit malaria yang dapat menginfeksi manusia. Untuk membedakan keempat jenis parasit malaria tersebut diperlukan pemeriksaan laboratorium, oleh karena gejala klinis yang ditimbulkan oleh keempat jenis parasit malaria tersebut sama. Apalagi pola demam pada awal infeksi menyerupai pola demam penyakit yang disebabkan organisme lain (bakteri, virus, parasit lain). Bagi penderita yang tinggal di daerah endemis malaria, walaupun di dalam darahnya ditemukan parasit malaria, tidak berarti orang tersebut hanya menderita malaria. Dapat juga pada waktu yang bersamaan orang tresebut menderita penyakit lain (seperti demam kuning fase awal, demam Lassa, demam tifoid). Infeksi oleh plasmodium malaria yang paling serius adalah malaria falciparum (disebut juga tertiana maligna ICD-9 084.0; ICD-10 B50).

Gejala dari malaria falciparum memberikan gambaran klinis yang sangat bervariasi seperti demam, menggigil, berkeringat, batuk, diare, gangguan pernafasan, sakit kepala dan dapat berlanjut menjadi ikterik, gangguan koagulasi, syok, gagal ginjal dan hati, ensefalopati akut, edema paru dan otak, koma, dan berakhir dengan kematian.

Hal-hal yang telah disebutkan di atas dapat terjadi pada orang yang belum mempunyai kekebalan terhadap malaria yang baru kembali dari daerah endemis malaria.

Pada orang yang mengalami koma dan gangguan serebral dapat menunjukkan gejala disorientasi dan delirium. Diagnose dini dan pengobatan dini sangatlah penting dilakukan walaupun terhadap penderita yang hanya menunjukkan gejala ringan oleh karena komplikasi yang terjadi bisa terjadi mendadak dan irreversibel. CFR pada anak dan orang dewasa yang tidak kebal terhadap malaria falciparum dapat mencapai 10 – 40% bahkan lebih.

Jenis malaria lain yang menyerang manusia adalah vivax (tertiana benigna, ICD-9 084.1; ICD-10 B51, malariae (quartana, ICD-9 084.2; ICD-10 B52) dan ovale ICD-9 084.3; ICD-10 B53), pada umumnya infeksi oleh parasit ini tidak mengancam jiwa manusia. Gejala infeksi parasit ini umumnya ringan dimulai dengan rasa lemah, ada kenaikan suhu badan secara perlahan-lahan dalam beberapa hari, kemudian diikuti dengan menggigil dan disertai dengan kenaikan suhu badan yang cepat. Biasanya diikuti dengan sakit kepala, mual dan diakhiri dengan keluar keringan yang banyak. Setelah diikuti dengan interval bebas demam, gejala menggigil, demam dan berkeringat berulang kembali, dapat terjadi tiap hari, dua hari sekali atau tiap 3 hari sekali. Lamanya serangan pada orang yang pertama kali diserang malaria yang tidak diobati berlangsung selama satu minggu sampai satu bulan atau lebih. Relaps yang sebenarnya ditandai dengan tidak adanya parasitemia dapat berulang sampai jangka waktu 5 tahun. Infeksi malariae dapat bertahan seumur hidup dengan atau tanpa adanya episode serangan demam. Orang yang mempunyai kekebalan parsial atau yang telah memakai obat profilaksis tidak menunjukkan gejala khas malaria dan mempunyai masa inkubasi yang lebih panjang.

Diagnosa dengan konfirmasi laboratorium dipastikan dengan ditemukannya parasit malaria pada sediaan darah. Pemeriksaan mikroskopis yang diulang setiap 12-24 jam mempunyai arti penting karena kepadatan Plasmodium falciparum pada darah tepi yang tidak tentu dan sering parasit tidak ditemukan dengan pemeriksaan sediaan darah tepi pada pasien yang baru terinfeksi malaria atau penderita yang dalam pengobatan malaria. Beberapa cara tes malaria sedang dalam uji coba. Tes dengan menggunakan dipstick mempunyai harapan yang paling baik, tes ini mendeteksi antigen yang beredar didalam darah. Walaupun sudah mendapat lisensi di beberapa negara di dunia akan tetapi di Amerika lisensi baru diberikan pada tahun 1999. Diagnosis dengan menggunakan metode PCR adalah yang paling sensitif, akan tetapi metode ini tidak selalu tersedia di laboratorium diagnosa malaria. Antibodi di dalam darah yang diperiksa dengan tes IFA atau tes lainnya, dapat muncul pada minggu pertama setelah terjadinya infeksi akan tetapi dapat bertahan lama sampai bertahun-tahun tetap beredar didalam darah. Pemeriksaan ini berguna untuk membuktikan riwayat infeksi malaria yang dialami sebelumnya dan tidak untuk mendiagnosa penyakit malaria yang sedang berlangsung.

2. Penyebab infeksi
Parasit Plasmodium vivax, P. malariae, P. falciparum dan P. ovale; parasit golongan sporozoa. Infeksi campuran jarang terjadi di daerah endemis.

3. Distribusi penyakit

Tidak dijumpai lagi daerah endemis malaria di negara-negara yang mempunyai iklim dingin dan subtropis, akan tetapi malaria masih menjadi penyebab utama masalah kesehatan masyarakat di beberapa negara tropis dan subtropis; transmisi malaria yang tinggi dijumpai di daerah pinggiran hutan di Amerika selatan (Brasil), Asia Tenggara (Thailand dan Indonesia) dan di seluruh Sub-Sahara Afrika.

Malaria ovale terdapat terutama di Sub Sahara Afrika dimana frekuensi malaria vivax lebih sedikit. Plasmodium falciparum yang resisten, sukar disembuhkan dengan 4- aminoquinolines (seperti chloroquine) dan obat anti malaria lainnya (seperti sulfa- pyrimethamine kombinasi dan mefloquine) ditemukan di negara-negara tropis, dikedua belahan bumi, khususnya di wilayah Amazon dan sebagian Thailand dan Kamboja. P. vivax yang resisten dan sukar disembuhkan dengan pengobatan chloroquine terjadi di Papua New Guinea dan prevalensi di Irian Jaya (Indonesia) dan telah dilaporkan terjadi di Sumatera (Indonesia), di Kepulauan Solomon dan Guyana. Stadium hepatik beberapa jenis P. vivax juga mungkin relatif sudah resisten terhadap pengobatan primaquine. Di AS, ditemukan beberapa orang penderita malaria lokal yang terjadi sejak pertengahan tahun 80-an. Informasi terkini tentang daerah fokus yang sudah resisten terhadap pengobatan malaria diterbitkan tiap tahun oleh WHO dan juga dapat diperoleh dari atau merujuk ke situs web/jaringan CDC: http://www.cdcgov/travel.

4. Reservoir
Hanya manusia menjadi reservoir terpenting untuk malaria. Primata secara alamiah terinfeksi berbagai jenis malaria termasuk P. knowlesi, P. brazilianum, P. inui, P. schwetzi dan P. simium yang dapat menginfeksi manusia di laboratorium percobaan, akan tetapi jarang terjadi penularan/transmisi secara alamiah.

5. Cara penularan
Melalui gigitan nyamuk Anopheles betina yang infektif. Sebagian besar spesies menggigit pada senja hari dan menjelang malam. Beberapa vektor utama mempunyai waktu puncak menggigit pada tengah malam dan menjelang fajar. Setelah nyamuk Anopheles betina menghisap darah yang mengandung parasit pada stadium seksual (gametosit), gamet jantan dan betina bersatu membentuk ookinet di perut nyamuk yang kemudian menembus dinding perut nyamuk dan membentuk kista pada lapisan luar dimana ribuan sporosoit dibentuk. Ini membutuhkan waktu 8-35 hari tergantung pada jenis parasit dan suhu lingkungan tempat dimana vektor berada. Sporosoit-sporosoit tersebut berpindah ke seluruh organ tubuh nyamuk yang terinfeksi dan beberapa mencapai kelenjar ludah nyamuk dan disana menjadi matang dan apabila nyamuk menggigit orang maka sporosoit siap ditularkan.

Didalam tubuh orang yang terkena infeksi, sporosoit memasuki sel-sel hati dan membentuk stadium yang disebut skison eksoeritrositer. Sel-sel hati tersebut pecah dan parasit aseksual (merosoit jaringan) memasuki aliran darah, berkembang (membentuk siklus eritrositer). Umumnya perubahan dari troposoit menjadi skison yang matang dalam darah memerlukan waktu 48-72 jam, sebelum melepaskan 8-30 merosoit eritrositik (tergantung spesies) untuk menyerang eritrosit-eritrosit lain. Gejala klinis terjadi pada tiap siklus karena pecahnya sebagian besar skison-skison eritrositik. Didalam eritrosit-eritrosit yang terinfeksi, beberapa merosoit berkembang menjadi bentuk seksual yaitu gamet jantan (mikrogamet) dan gamet betina (makrogamet).

Periode antara gigitan nyamuk yang terinfeksi dengan ditemukannya parasit dalam sediaan darah tebal disebut “periode prepaten” yang biasanya berlangsung antara 6-12 hari pada P. falciparum, 8-12 hari pada P. vivax dan P. ovale, 12-16 hari pada P. malariae (mungkin lebih singkat atau lebih lama). Penundaan serangan pertama pada beberapa strain P. vivax berlangsung 6-12 bulan setelah gigitan nyamuk.

Gametosit biasanya muncul dalam aliran darah dalam waktu 3 hari setelah parasitemia pada P . vivax dan P . ovale, dan setelah 10-14 hari pada P . falciparum. Beberapa bentuk eksoeritrositik pada P. vivax dan P. ovale mengalami bentuk tidak aktif (hipnosoit) yang tinggal dalam sel-sel hati dan menjadi matang dalam waktu beberapa bulan atau beberapa tahun yang menimbulkan relaps. Fenomena ini tidak terjadi pada malaria falciparum dan malaria malariae, dan gejala-gejala penyakit ini dapat muncul kembali sebagai akibat dari pengobatan yang tidak adekuat atau adanya infeksi dari strain yang resisten. Pada P. malariae sebagian kecil parasit eritrositik dapat menetap bertahan selama beberapa tahun untuk kemudian berkembang biak kembali sampai ke tingkat yang dapat menimbulkan gejala klinis. Malaria juga dapat ditularkan melalui injeksi atau transfusi darah dari orang- orang yang terinfeksi atau bila menggunakan jarum suntik yang terkontaminasi seperti pada pengguna narkoba. Penularan kongenital jarang sekali terjadi tetapi bayi lahir mati dari ibu-ibu yang terinfeksi seringkali terjadi.

6. Masa inkubasi
Waktu antara gigitan nyamuk dan munculnya gejala klinis sekitar 7-14 hari untuk P. falciparum, 8-14 hari untukP. Vivax dan P. ovale, dan 7-30 hari untuk P. malariae. Masa inkubasi ini dapat memanjang antara 8-10 bulan terutama pada beberapa strain P. vivax di daerah tropis. Pada infeksi melalui transfusi darah, masa inkubasi tergantung pada jumlah parasit yang masuk dan biasanya singkat tetapi mungkin sampai 2 bulan. Dosis pengobatan yang tidak adekuat seperti pemberian profilaksis yang tidak tepat dapat menyebabkan memanjangnya masa inkubasi.

7. Masa penular
Nyamuk dapat terinfeksi apabila dalam darah penderita yang diisap oleh nyamuk masih ada gametosit. Keadaan ini bervariasi tergantung pada spesies dan strain dari parasit serta respons seseorang terhadap pengobatan. Pada penderita malaria dengan Plasmodium malariae yang tidak diobati atau tidak diobati dengan benar dapat menjadi sumber penularan selama 3 tahun. Sedangkan untuk vivax berlangsung selama 1-2 tahun dan untuk malaria falciparum umumnya tidak lebih dari satu tahun. Nyamuk tetap infektif seumur hidup mereka. Penularan melalui transfuse darah tetap dapat terjadi semasih ditemukan ada bentuk aseksual dalam darah. Untuk P. malariae dapat berlangsung sampai 40 tahun lebih. Darah yang disimpan didalam lemari pendingin tetap infektif paling sedikit selama sebulan.

8. Kerentanan dan Kekebalan
Setiap orang rentan terhadap penularan kecuali pada mereka yang mempunyai galur genetika spesifik. Toleransi atau daya tahan terhadap munculnya gejala klinis ditemukan pada penduduk dewasa yang tinggal di daerah endemis dimana gigitan nyamuk anopheles berlangsung bertahun-tahun. Kebanyakan orang Afrika yang berkulit hitam mempunyai kekebalan alamiah terhadap infeksi P. vivax dikarenakan mereka tidak memiliki faktor Duffy didalam eritrosit mereka. Mereka yang secara genetik mempunyai sicke cell trait relatif terlindungi terhadap kemungkinan menderita penyakit malaria berat apabila terinfeksi oleh P. falciparum. Pada orang ini biasanya parasit dalam darah mereka rendah.

9. Cara-cara Pemberantasan

A. Cara-cara Pencegahan

I. Pencegahan berbasis masyarakat

  1. Masyarakatkan perilaku hidup bersih dan sehat antara lain dengan memperhatikan kebersihan lingkungan untuk menghilangkan tempat-tempat perindukan nyamuk. Gerakan kebersihan lingkungan ini dapat menghilangkan tempat-tempat perindukan nyamuk secara permanen dari lingkungan pemukiman. Air tergenang dialirkan, dikeringkan atau ditimbun. Saluran-saluran dkolam-kolam air dibersihkan. Aliran air pada selokan dan pairt-parit dipercepat. Untuk keadaan tertentu dapat digunakan bahan kimia atau cara-cara biologis untuk menghilangkan larva.
  2. Sebelum dilakukan penyemprotan dengan menggunakan pestisida dengan efek residual terhadap nyamuk dewasa, lakukan telaah yang teliti terhadap bionomik dari nyamuk di daerah tersebut. Telaah bionomik ini perlu juga dilakukan di daerah dimana sifat-sifat nyamuk anopheles istirahat dan menghisap darah di dalam rumah (vektor yang endophilic dan endophagic). Penyemprotan saja dengan insektisida dengan efek residual pada tembok di pemukiman penduduk tidak akan menghilangkan vektor nyamuk secara permanen. Apalagi kalau vektor sudah resisten terhadap pestisida, maka penyemprotan didalam rumah menjadi sia-sia, atau kalau nyamuknya tidak pernah masuk ke dalam rumah.
  3. Dibawah ini tercantum hal-hal penting yang harus dipertimbangkan dalam melakukan pemberantasan vector secara terpadu:
    • Harus ada akses terhadap fasilitas pelayanan kesehatan untuk mendapatkan diagnosa dan pengobatan dini;
    • Lakukan kerja sama lintas sektoral untuk mengawasi pola pergerakan dan migrasi penduduk. Pola ini membantu untuk mengetahui kemungkinan penyebaran plasmodium ke daerah baru yang mempunyai ekologi yang memungkinkan terjadinya penularan.
    • Lakukan penyuluhan kesehatan masyarakat secara masif dengan sasaran penduduk yang mempunyai risiko tinggi tertulari tentang cara-cara melindungi diri terhadap penularan.
    • Lakukan diagnosa dan pengobatan dini terhadap penderita malaria akut maupun kronis oleh karena kematian penderita malaria yang terinfeksi oleh P. falciparum karena lambatnya diagnosa dan pengobatan.
    • Setiap donor darah harus ditanyai tentang riwayat apakah yang bersangkutan pernah menderita malaria atau pernah bepergian ke daerah yang endemis malaria. Donor yang tinggal di daerah nonendemis yang berkunjung ke daerah endemis dan tidak menunjukkan gejala klinis malaria diperbolehkan menyumbangkan darah mereka 6 bulan setelah kunjungan ke daerah endemis tersebut (di Amerika Serikat adalah satu tahun). Orang ini pada waktu berkunjung ke daerah endemis tidak mendapatkan pengobatan profilaktik. Bagi mereka yang berkunjung ke daerah endemis dalam jangka waktu cukup lama yaitu 6 bulan lebih namun telah mendapatkan profilaktik terhadap malaria dan tidak menunjukkan gejala klinis malaria, dan bagi mereka yang berimigrasi atau mengunjungi daerah endemis diijinkan untuk menjadi donor 3 tahun setelah pemberian pengobatan profilaktik malaria, dengan catatan mereka tetap tidak menunjukkan gejala klinis malaria. Mereka yang tinggal atau berkunjung ke daerah endemis malaria, selama lebih dari 6 bulan, dianggap sebagai penduduk daerah tersebut sehingga apabila mereka akan menjadi donor harus dilakukan evaluasi dengan cermat dan dianggap sebagai sama dengan imigran dari daerah itu. Karena data menunjukkan bahwa sejak lama para donor yang berasal dari daerah endemis malaria selalu merupakan sumber infeksi penularan melalui transfusi. Daerah yang dianggap endemis malaria tidak saja daerah-daerah endemis di benua Amerika, Afrika tropis, Papua New Guinea, Asia Selatan dan Asia Tengara tetapi juga daerah Mediterania di Eropa dimana saat ini daerah tersebut sudah tidak ada lagi penularan malaria.

II. Tindakan pencegahan perorangan
Oleh karena belakangan ini malaria merebak kembali dalam beberapa dekade terakhir maka cara-cara pencegahan dan pengobatan diuraikan secara detail. Bagi mereka yang melakukan perjalanan ke daerah endemis malaria harus memperhatikan hal-hal berikut:

    • Menghindari diri dari gigitan nyamuk adalah hal yang paling utama.
    • Tidak ada obat anti malaria profilaktik yang dapat memberikan perlindungan sepenuhnya.
    • Obat anti malaria untuk tujuan profilaktik tidak harus secara otomatis diberikan kepada para pelancong yang berkunjung ke daerah malaria.
    • Para pelancong dianjurkan untuk membawa obat anti malaria “stand by” untuk keadaan darurat pada saat mengalami demam jika berkunjung ke daerah endemis malaria falciparum dimana di daerah tersebut tidak ada fasilitas pengobatan yang memadai.

1. Hal-hal  yang perlu dilakukan untuk menghindari gigitan nyamuk sebagai berikut:

  • Jangan bepergian antara senja dan malam hari karena pada saat itu umumnya nyamuk menggigit. Kenakan celana panjang dan baju lengan panjang dengan warna terang karena warna gelap menarik perhatian nyamuk.
  • Gunakan repelan pada kulit yang terbuka; repelan yang dipakai dipilih yang mengandung N,N-diethyl-m-toluamide (Deet®) atau dimethyl phthalate.
  • Tinggallah dalam rumah yang mempunyai konstruksi yang baik dan gedung yang terpelihara dengan baik yang terletak di daerah bagian perkotaan yang paling maju.
  • Gunakan kawat kasa anti nyamuk pada pintu dan jendela, jika tidak ada tutuplah jendela dan pintu pada malam hari.
  • Jika tempat tinggal dapat dimasuki nyamuk gunakanlah kelambu pada tempat tidur, dengan sudutnya dimasukkan di bawah sudut kasur dan pastikan kelambu tersebut tidak robek dan tidak ada nyamuk didalamnya.
  • Gunakan alat penyemprot atau dispenser insektisida yang berisi tablet yang mengandung pyrethroid atau obat nyamuk bakar pyrethroid di kamar tidur pada malam hari.
2. Untuk orang yang terpajan atau yang akan terpajan nyamuk di daerah malaria harus diberi penjelasan sebagai berikut:

  • Bahwa risiko malaria bervariasi antar negara dan antar daerah dalam suatu negara, daftar negara-negara endemis malaria dapat dilihat di publikasi tahunan WHO yaitu pada International Travel and Health ISBN-9241580208.
  • Ibu hamil dan anak-anak sangat rentan untuk mendapatkan malaria berat atau malaria dengan komplikasinya.
  • Malaria dapat menyebabkan kematian jika pengobatannya terlambat. Pencarian pertolongan medis harus segera dilakukan jika yang bersangkutan dicurigai menderita malaria. Pemeriksaan parasit malaria pada darah harus dilakukan lebih dari satu kali dengan selang waktu beberapa jam.
  • Gejala malaria dapat ringan; seseorang harus kita curigai menderita malaria kalau 1 minggu setelah berkunjung ke daerah endemis yang bersangkutan menunjukkan gejala panas, lemah, sakit kepala, sakit otot dan tulang, segera lakukan pengobatan.

3. Ibu hamil dan orang tua harus diberikan penyuluhan tentang:

  • bahwa malaria pada ibu hamil dapat meningkatkan risiko kematian janin, keguguran, stillbirth dan kematian bayi yang baru lahir.
  • Jangan berkunjung ke daerah malaria kecuali terpaksa.
  • Untuk melakukan proteksi terhadap gigitan nyamuk harus dilakukan upaya ekstra hati-hati dan cermat.
  • Klorokuin (5,0 mg/kgBB/minggu setara dengan 8,0 mg garam diphosphate/kgBB/minggu; 6.8 mg dalam bentuk garam sulfat/kgBB/minggu dan 6.1 mg dalam bentuk garam hidroksiklorida/kgBB/minggu) dan proguanil (3.0 mg/kgBB/hari yang setara dengan 3.4 mg bentuk garam hidroklorida/kgBB/hari) diminum untuk pengobatan pencegahan (proguanil tidak tersedia di pasaran di Amerika Serikat). Di daerah dimana P. falciparum sudah resisten terhadap klorokuin dan proguanil harus diberikan pada triwulan pertama kehamilan, pengobatan pencegahan dengan meflokuin (5.0 mg/kgBB/minggu yang setara dapat dipertimbangkan, pemberian dapat diberikan pada bulan keempat kehamilan.
  • Pengobatan pencegahan dengan doksisiklin tidak boleh diberikan.
  • Jika dicurigai seseorang menderita malaria maka pertolongan untuk mendapatkan pengobatan harus segera dilakukan. Pengobatan darurat dapat diberikan apabila di tempat tersebut tidak tersedia fasilitas pengobatan, maka pencarian pengobatan selanjutnya dilakukan setelah pemberian pengobatan darurat tersebut (lihat 9A114 dan 9A115c di bawah ini).
  • Pemberian obat untuk profilaksis malaria sangat penting untuk melindungi anak-anak. Klorokuin (5 mg/kgBB/minggu) ditambah dengan proguanil (3 mg/kgBB/hari) aman diberikan kepada bayi (proguanil tidak tersedia di Amerika Serikat).
  • Penggunaan meflokuin untuk profilaksis dapat diberikan kepada wanita usia subur dengan dosis 5 mg/kgBB/minggu tetapi kehamilan harus dihindari sampai 3 bulan setelah berhenti minum meflokuin. Dari bukti-bukti yang dikumpulkan menunjukkan bahwa pemberian pengobatan pencegahan dengan meflokuin yang dilakukan sembarangan pada wanita hamil dan dari data uji klinik tidak menunjukkkan adanya efek embriotoksik atau teratogenik. Meflokuin dapat diberikan pada trimester kedua dan ketiga. Data tentang pemberian meflokuin pada trimester pertama sangat terbatas. Pada kehamilan yang tidak dikehendaki pemberian meflokuin profilaksis tidak dimaksudkan untuk menggugurkan kandungan.
  • Pengobatan profilaksis dengan doksisiklin (1,5 mg dalam bentuk garam dihidroklorida/kgBB/hari) dapat diberikan kepada wanita usia subur akan tetapi kehamilan harus dihindari dalam waktu 1 minggu setelah minum obat ini.
  • Jika terjadi kehamilan selama pemakaian obat anti malaria profilaksis (kecuali klorokuin dan proguanil) dokter harus memberi penjelasan kepada ibu tersebut kemungkinan terjadinya kelainan congenital pada bayi yang dilahirkan sesuai dengan penjelasan yang tertera dalam brosur dari pabrik.
4. Pengobatan siaga malaria: Faktor yang paling penting yang menentukan hidup matinya penderita malaria falciparum adalah kemampuan untuk menegakkan diagnosis dini dan memberikan pengobatan dini. Semua orang yang belum kebal terhadap malaria jika mereka terpajan atau terinfeksi malaria maka mereka harus segera mendapatkan pemeriksaan dan pengobatan yang tepat jika diduga menderita malaria. Namun sebagian kecil orang yang terpajan sulit mendapatkan fasilitas diagnosa dan pengobatan dini, mereka biasanya berada 12-24 jam dari fasilitas kesehatan yang terdekat. Pada situasi seperti ini WHO menganjurkan agar orang-orang ini dibekali obat anti malaria agar dapat melakukan pengobatan sendiri. Kepada mereka diberi penjelasan tentang gejala-gejala malaria, dosis dan cara pemakaian obat, gejala-gejala efek samping obat dan apa yang harus dilakukan jika pengobatan gagal. Mereka juga diberi penjelasan bahwa pengobatan sendiri yang mereka lakukan bersifat sementara, selanjutnya mereka harus pergi ke dokter.

5. Upaya pencegahan: Orang-orang yang tidak mempunyai imunitas terhadap malaria yang akan terpajan dengan nyamuk di daerah endemis harus melakukan upaya perlindungan terhadap gigitan nyamuk dan lebih baik sebelumnya minum obat profilaksis untuk mencegah malaria. Kemungkinan timbulnya efek samping akibat pemakaian satu jenis obat atau obat kombinasi dalam jangka panjang (sampai 3-5 bulan) yang dianjurkan pemakaiannya untuk suatu daerah perlu dipertimbangkan masak-masak. Para pelancong maupun penduduk setempat yang tinggal di daerah endemis malaria seperti daerah perkotaan di Asia Tenggara dan Amerika selatan, kemungkinan mereka tidak terpajan dengan malaria sehingga tidak perlu diberikan pengobatan profilaksis. Namun beberapa negara seperti anak benua India, mereka yang tinggal dan berkunjung di daerah perkotaan juga mempunyai risiko terpajan dengan malaria. Dalam hal ini perlu diberikan pengobatan profilaksis. Mengingat bahwa cepat sekali terjadi resistensi maka informasi tentang resistensi obat di suatu wilayah harus dilihat sebelum memberikan pengobatan.

a. Sebelum tahun 1999 untuk daerah endemis malaria seperti di Amerika Tengah, bagian barat terusan Panama, Pulau Hispaniola, Haiti dan Republik Dominika, daerah endemis malaria di Timur Tengah dan daratan Cina, plasmodium masih sensitif terhadap klorokuin. Untuk daerah yang masih sensitif terhadap klorokuin maka untuk menekan agar tidak timbul malaria pada orang-orang yang non imun yang tinggal atau berkunjung ke daerah endemis malaria diberikan pengobatan sebagai berikut: Klorokuin (Aralen, 5 mg basa/kgBB, 300 mg basa atau 500 mg klorokuin fosfat untuk orang dewasa) diberikan seminggu sekali atau hidroksiklorokuin (praquenil 5 mg basa/kgBB – dosis dewasa 310 mg basa atau 400 mg dalam bentuk garam). Tidak ada kontraindikasi pemberian klorokuin untuk wanita hamil. Obat ini harus diteruskan dengan dosis dan jadwal yang sama sampai dengan 4 minggu setelah meninggalkan tempat endemis. Timbul efek samping yang ringan apabila obat diminum saat makan atau obat yang diminum adalah hidroklorokuin. Penderita psoriasis yang minum obat klorokuin gejalanya akan bertambah berat (terutama dikalangan orang kulit hitam di Afrika dan Amerika). Terjadi interferensi dengan respons imunitas pemberian vaksin rabies yang diberikan intradermal pada saat diberikan pengobatan klorokuin.

b. Untuk mencegah terjadinya infeksi malaria terhadap pendatang yang berkunjung ke daerah dimana P. falciparum sudah resisten terhadap klorokuin (Asia Tenggara, Afrika bagian Sub Sahara, di daerah hutan hujan di Amerika bagian selatan dan Pulau Pasifik Barat) direkomendasikan untuk memberikan meflokuin saja (5 mg/kgBB/minggu). Untuk mencegah malaria pemberian obat dilakukan setiap minggu; mulai minum obat 1-2 minggu sebelum mengadakan perjalanan ke tempat tersebut dan dilanjutkan setiap minggu selama dalam perjalanan atau tinggal di daerah endemis malaria dan selama 4 minggu setelah kembali dari daerah tersebut. Meflokuin hanya kontraindikasi untuk diberikan kepada orang yang sensitif. Tidak direkomendasikan untuk diberikan kepada orang yang sedang hamil pada trimester pertama kehamilan kecuali mereka terpajan dengan malaria P. falciparum yang sudah resisten terhadap klorokuin (lihat 9A II 3 h tersebut di atas). Pengobatan pencegahan tidak diberikan dalam waktu lebih dari 12-20 minggu dengan obat yang sama. Bagi penduduk yang tinggal di daerah risiko tinggi malaria dimana terjadi penularan malaria yang bersifat musiman maka upaya pencegahan terhadap gigitan nyamuk perlu ditingkatkan sebagai pertimbangan alternatif terhadap pemberian pengobatan profilaksis jangka panjang dimana kemungkinan terjadi efek samping sangat besar. Sampai akhir tahun 1999 meflokuin tidak direkomendasikan untuk diberikan kepada individu dengan aritmia jantung, atau kepada orang dengan riwayat epilepsy atau dengan gangguan jiwa berat; pada keadaan tersebut tidak diperkenankan diberikan meflokuin dan apabila mereka berkunjung ke daerah endemis malaria di Thailand (daerah hutan di desa yang berbatasan dengan Kamboja dan Myanmar) mereka diberikan doxycycline saja 100 mg/hari sebagai obat alternative. Doxycycline mungkin dapat menyebabkan diare, Candida vaginitis dan peka terhadap cahaya. Doxycycline tidak boleh diberikan kepada orang yang sedang hamil dan anak- anak umur kurang dari 8 tahun. Untuk pencegahan, Doxycycline diminum 1-2 hari sebelum berkunjung ke daerah endemis malaria. Perjalanan yang membutuhkan waktu lama dan mempunyai risiko terhadap infeksi malaria P. falciparum dimana pemberian meflokuin dan doxycycline merupakan kontraindikasi maka terhadap orang tersebut diberikan klorokuin seminggu sekali. Di Afrika dengan data yang sangat terbatas diketahui bahwa pemberian proguanil (Paludrine, 200 mg) yang diberikan setiap hari selain klorokuin memberikan hasil lebih efektif, tetapi kombinasi ini tidak memberikan hasil yang sama untuk semua orang; di Asia dan Oseania proguanil yang ditambahkan pada klorokuin tidak bermanfaat (di Amerika Serikat proguanil tidak tersedia). Pengunjung dengan kategori tersebut di atas dianjurkan membawa obat anti malaria yang dipakai di daerah tersebut atau membawa Fansidar® (Sulfadoxine 500/pyrimethamine 25 mg) kecuali orang tersebut mempunyai riwayat sensitif terhadap sulfonamide. Bagi penderita yang mengalami demam dimana tenaga medis profesional tidak ada maka terhadap orang tersebut harus diberikan dosis anti malaria yang lengkap (Fansidar® dosis untuk orang dewasa 3 tablet sekaligus) dan selanjutnya sesegera mungkin dikonsultasikan ke dokter. Ditekankan bahwa melakukan pengobatan presumptive seperti itu adalah tindakan darurat dan selanjutnya harus dilakukan evaluasi medis.

Pada tahun 1990 dilaporkan haisl penelitian klinis di daerah dimana telah terjadi resistensi terhadap klorokuin baik terhadap P . vivax maupun P . falciparum, obat alternative untuk orang dewasa yang tidak mempunyai defisiensi glukosa 6-phosphat dehydrogenase (G6-PD) dan untuk wanita yang tidak hamil dan tidak menyusui obat profilaksis alternatif adalah Primaquine 0,5 mg/kg berat badan, dimulai pada hari pertama terpajan dan dilanjutkan selama 1 minggu sesudah meninggalkan daerah endemis malaria. Jika dilakukan dengan benar pengobatan tersebut efektif mencegah 95% infeksi P. falciparum dan 85%-90% untuk P. vivax di daerah Pasifik Selatan dan Amerika Selatan. Efek samping pengobatan yang biasanya timbul adalah nyeri lambung atau sakit perut dan muntah pada <10% orang yang menerima pengobatan tersebut. Untuk orang yang terpajan dalam waktu lama dimana primaquine diberikan lebih dari 50 minggu menyebabkan terjadi peningkatan kadar methahemoglobin sampai 5,8%; dan akan turun turun setengahnya dalam 1 minggu sesudah pemberian primaquine dihentikan.

c. Obat-obatan profilaktik supresif terhadap P . vivax dan P . ovale tidak membunuh parasit dalam hati, oleh karena itu setiap saat dapat kambuh lagi penyakitnya setelah obat anti malaria tersebut dihentikan. Primaquine 0,3 mg/kg berat badan/hari yang diberikan selama 14 hari (15 mg basa atau 26.3 mg Primaquine phosphate untuk orang dewasa) sering bermanfaat diberikan kepada orang yang tinggal di daerah endemis malaria dan diberikan bersama- sama atau sebagai lanjutan pemberian obat-obatan supresif. Namun pengobatan tersebut di atas dapat menimbulkan hemolisis pada orang dengan defisiensi G6-PD. Pertimbangan pemberian primaquine harus dilihat kasus demi kasus setelah melihat kemungkinan risiko terhadap timbulnya reaksi obat dan hanya diberikan kepada orang-orang yang akan tinggal dan terpajan dalam waktu yang lama sebagai contoh para biarawan dan biarawati, sukarelawan untuk perdamaian dan personil militer. Dosis lebih tinggi diberikan setiap hari (30 mg sebagai basa) untuk negara-negara Asia Tenggara dan negara-negara Pasifik Selatan dan beberapa negara Amerika Selatan. Sebagai alternatif primaquine 0,75 mg basa/kg berat badan dapat diberikan setiap minggu 8 dosis (45 mg basa atau 79 mg primaquine phosphate untuk orang dewasa) setelah meninggalkan daerah endemis. Sebelum diberikan primaquine sebaiknya dilakukan pemeriksaan G6-PD. Primaquine tidak dianjurkan untuk diberikan kepada orang yang sedang hamil; Chloroquine dilanjutkan pemberiannya setiap minggu selama masa kehamilan.

B. Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitar
  1. Laporan kepada institusi kesehatan; wajib dilaporkan kalau ditemukan kasus, karena termasuk dalam program pengamatan oleh WHO, termasuk penyakit Kelas 1A (Lihat laporan penyakit menular) pada daerah tidak endemis, dilakukan pemeriksaan preparat apus untuk konfirmasi terhadap malaria (di Amerika Serikat); kelas 3C dilakukan pada daerah endemis malaria.
  2. Isolasi: Untuk pasien yang baru saja sembuh, lakukan kewaspadaan terhadap darah pasien tersebut. Pasien pada senja dan dini hari agar dijaga tidak digigit nyamuk.
  3. Disinfeksi: Tidak ada.
  4. Karantina: Tidak ada.
  5. Imunisasi kontak: Tidak dianjurkan.
  6. Investigasi kontak dan sumber infeksi: Menentukan adanya riwayat kasus sebelum terjadinya infeksi atau kemungkinan terpajan. Jika ada pasien yang mempunyai riwayat menggunakan jarum suntik bergantian, laukan Investigasi dan semua orang tersebut diberikan pengobatanPenderita yang mendapat malaria karena transfusi, terhadap semua donor dilakukan pemeriksaan darahnya apakah mengandung positif parasit malaria atau adanya antibodi positif terhadap malaria, apabila positif malaria maka harus diberikan pengobatan.
  7. Pengobatan spesifik untuk semua tipe malaria:
a) Pengobatan untuk mereka yang terinfeksi malaria adalah dengan menggunakan chloroquine terhadap P. falciparum, P. vivax, P. malariae dan P. ovale yang masih sensitif terhadap obat tersebut dapat diberikan peroral (diminum) dengan jumlah dosis 25 mg chloroquine/kg berat badan diberikan lebih dari 3 hari, dosis 15 mg dapat diberikan pada hari pertama (10 mg/kg berat badan dosis awal dan 5 mg/kg berat badan 6 jam berikutnya; 600 mg dan 300 mg dosis untuk orang dewasa); hari kedua diberikan 5 mg/kg berat badan dan hari ketiga diberikan 5 mg/kg berat badan. Untuk daerah Oseania dimana malaria vivax mungkin sudah resisten terhadap klorokuin, penderita yang sudah diberi pengobatan, diberi pengobatan ulang atau diberikan dosis tunggal mefloquine 25 mg/kg berat badan.Untuk pengobatan darurat bagi orang dewasa yang terinfeksi malaria dengan komplikasi berat atau untuk orang yang tidak memungkinkan diberikan obat peroral dapat diberikan obat Quinine dihydrochloride, diberikan 20 mg/kg berat badan dilarutkan dalam 500 ml NaCl, glukosa atau plasma dan diberikan secara intravena pelan dalam waktu (lebih 2-4 jam) bila perlu diulang setiap 8 jam (10 mg/kg berat badan) kemudian diteruskan dengan dosis yang diturunkan setiap 8 jam sampai dengan saat penderita dapat diberikan Quinine peroral. Dosis pengobatan pada anak per kg BB adalah sama.

b) Apabila setelah 48 jam pengobatan penderita cenderung membaik dan kadar obat tidak bisa dimonitor maka dosis pengobatan diturunkan 30%; efek samping yang timbul umumnya hipoglikemia. Di Amerika, obat suntikan Quinine tidak tersedia, tetapi diganti dengan Quinidine injeksi yang sama efektifnya untuk pengobatan malaria berat. Dosis yang diberikan adalah 10 mg Quinidine gluconate sebagai basa/kg berat badan diberikan intravena dalam waktu 1-2 jam diikuti dengan infus yang konstan dengan jumlah tetesan sebesar 0,02 mg/kg berat badan/menit. Selama pengobatan perlu dilakukan pengawasan terhadap lancarnya tetesan cairan, tekanan darah, pengamatan terhadap fungsi jantung, keseimbangan cairan dan elektroklit melalui CVP (central venous pressure). Infus quinidine tetesannya dipelankan atau dihentikan apabila interval QT lebih 0,6 detik dan kompleks QRS meningkat lebih dari 50% atau penurunan tekanan darah tidak responsif terhadap pemberian cairan. Pemberian cairan maksimal boleh diberikan sampai dengan 72 jam. Semua obat yang diberikan secara parenteral dihentikan secepat mungkin segera setelah obat peroral dapat diberikan. Pada infeksi malaria falciparum berat terutama yang disertai dengan gangguan kejiwaan dan dengan parasitemia yang mencapai 10% maka perlu dipertimbangkan untuk melakukan exchange transfusion apabila terjadi infeksi malaria khususnya malaria berat yang didapat dari daerah resisten quinine (seperti yang terjadi pada akhir tahun 1999 di daerah perbatasan Thailand). Dalam keadaan seperti ini berikan artemether intramuskuler (3,2 mg/kg berat badan pada hari pertama, dilanjutkan dengan 1,6 mg/kg BB/hari), atau artesunate intravena atau intramuskuler (2 mg/kg berat badan pada hari pertama, dilanjutkan dengan 1 mg/kg berat badan tiap hari). Pada kasus dengan hiperparasitemia artesunate diberikan dengan dosis 1 mg/kg berat badan 4-6 jam sesudah dosis pertama. Untuk mencegah terjadinya neurotoksisitas maka pemberian obat tersebut tidak boleh lebih dari 5-7 hari atau sampai pasien bisa menelan obat malaria oral yang efektif seperti mefloquinine dengan dosis 25 mg/kg BB. Obat ini tidak tersedia di pasaran Amerika Serikat, pemberiannya hanya boleh jika dikombinasikan dengan obat anti malaria lain.

c) Untuk infeksi malaria P. falciparum yang didapat di daerah dimana ditemukan strain yang resisten terhadap chloroquine, pengobatan dilakukan dengan memberikan quinine 50 mg/kg berat badan/hari dibagi dalam 3 dosis selama 3- 7 hari (untuk infeksi malaria berat, berikan quinine intravena seperti yang telah dijelaskan di atas). Bersamaan dengan pemberian quinine, diberikan juga doxycycline (2 mg/kg berat badan/2 kali perhari, dosis pemakaian maksimum adalah 100 mg/dosis) atau berikan tetrasiklin (20 mg/kg berat badan dengan dosis maksimum 250 mg perhari) diberikan dalam 4 dosis perhari selama 7 hari. Quinine dihentikan setelah 3 hari kecuali untuk infeksi malaria yang diperoleh di Thailand dan Amazone, pemberian quinine harus dilanjutkan pengobatannya sampai 7 hari. Mefloquine (15-25 mg/kg berat badan) sangat efektif untuk pengobatan P. falciparum yang resisten terhadap chloroquine namun mefloquine tidak efektif untuk mengobati malaria P. falciparum yang terdapat di Thailand, negara tetangganya dan Brazilia. Mengingat banyak sekali ditemukan daerah-daerah dengan kecenderungan terjadi resistensi terhadap obat antimalaria, maka agar upaya pengobatan terhadap penderita malaria dapat berhasil baik perlu dilakukan pemetaan yang baik tentang pola resistensi obat di daerah-daerah dimana terjadi penularan malaria.

d) Untuk pengobatan infeksi malaria P. vivax yang terjadi di Papua New Guinea atau Irian Jaya (Indonesia) digunakan mefloquine (15 mg/kg berat badan dosis tunggal). Halofantrine mungkin dapat digunakan sebagai obat alternatif. Baca petunjuk yang tertulis dalam kemasan obat.

e) Untuk mencegah adanya infeksi ulang karena digigit nyamuk yang mengandung malaria P . vivax dan P . ovale berikan pengobatan dengan primaquine seperti yang telah dijelaskan pada nomor 9A5C tersebut di atas; sebagai pelengkap pengobatan kasus yang akut terhadap semua penderita maka dilakukan tes (khususnya orang kulit hitam Afrika, orang kulit hitam Afrika yang tinggal di Amerika, orang Asia dan orang Mediteranian) untuk mengetahui adanya defisiensi G6-PD agar tidak terjadi hemolisis karena obat. Banyak orang Afrika dan orang Afrika yang tinggal di Amerika yang toleran terhadap hemolisis walaupun demikian perlu dipertimbangkan untuk menghentikan segera pemberian primaquine. Bagaimanapun manfaat dan kerugian kemungkinan terjadinya hemolisis harus dikaji secara seimbang terhadap kemungkinan kambuhnya infeksi malaria. Primaquine tidak dianjurkan pemberiannya bagi orang yang terkena infeksi malaria bukan oleh gigitan nyamuk (sebagai contoh karena transfusi darah) oleh karena dengan cara penularan infeksi malaria seperti ini tidak ada fase hati.

C. PenanggulanganWabah
Buat pemetaan tentang sebab dan luasnya situasi KLB malaria. Lakukan deteksi kasus secara intensif dan intensifkan upaya pemberantasan vektor baik terhadap nyamuk dewasa maupun terhadap stadium larva. Lakukan gerakan untuk menghilangkan tempat-tempat perindukan nyamuk. Obati semua penderita malaria; kenakan pakaian pelindung diri untuk menghindari gigitan nyamuk; berikan pengobatan supresif. Pengobatan massal masih dapat dipertimbangkan.

D. Implikasi Bencana
Sepanjang catatan sejarah, malaria sering merebak bersamaan dengan terjadinya peperangan dan kerusuhan sosial. Perubahan cuaca dan perubahan lingkungan yang menyebabkan terjadinya peningkatan jumlah dan luas wilayah tempat perindukan nyamuk di daerah endemis akan menyebabkan peningkatan jumlah penderita malaria.

E. Tindakan Internasional

Tindakan Internasional yang penting sebagai berikut:

  • Melakukan pembebasan terhadap serangga didalam pesawat udara sebelum naik pesawat (boarding) atau pada waktu singgah, dilakukan penyemprotan dengan insektisida dimana vektor nyamuk masih rentan terhadap insektisida tersebut.
  • Lakukan penyemprotan terhadap pesawat udara, kapal laut dan alat transportasi yang lain pada saat kedatangan sesuai dengan kewenangan dan peraturan kesehatan setempat, hal tersebut dilakukan karena kemungkinan adanya vektor malaria yang masuk ke dalam alat-alat transportasi tersebut.

Tindakan khusus dilakukan dengan pemberian obat anti malaria kepada pendatang (pengungsi, pekerja musiman dan orang-orang yang pindah secara serentak dari daerah bebas malaria) yang berpotensi terkena malaria, kepada mereka diberikan primaquine 30-45 mg sebagai obat dasar (0,5-0,75 mg/kg BB) dengan dosis tunggal, menjadikan gamotosit malaria P. falciparum tidak lagi menular.

Malaria merupakan penyakit dibawah pengawasan WHO. Pemberantasan malaria masuk kedalam strategi utama program WHO dalam pengembangan Primary Health Care. Negara-negara anggota WHO secara berkala setahun sekali diharapkan melaporkan ha-hal yang tercantum di bawah ini:

  • Daerah malaria yang saat ini tidak lagi ada risiko terinfeksi malaria.
  • Kasus impor (kasus yang datang dari daerah lain) masuk ke daerah bebas malaria yang berpotensi menularkan malaria.
  • Daerah dengan strain yang resisten chloroquine.
  • Pelabuhan udara/laut Internasional yang bebas malaria.
  • Manfaatkan Pusat-pusat Kerja sama WHO.