Senin, 01 April 2013

Berburu Jentik

Setiap tahun hampir setiap bulan bisa diamati di televisi dan dibaca di suratkabar lokal ataupun nasional berita tentang penyakit DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD). Penyakit ini nama lainnya adalah DENGUE HEMORRHAGIC FEVER (DHF). Berbagai macam isi berita yang dapat kita peroleh; ada yang membahas tentang penanganan kasus, gejala penyakit, pengobatan, vaksin yang belum ada, penyemprotan dengan asap secara masal, bahkan sampai pada pencanangan pelaksanaan Pembasmian Sarang Nyamuk. 

Apa yang terjadi? Media informasi telah gencar menyiarkan berbagai macam hal diatas, tapi jumlah kasus terus meningkat, korban meninggal berjatuhan. Artinya apa? Artinya upaya yang dilakukan belum optimal, masih banyak masyarakat yang belum peduli dengan kondisi ini, bukan? Partisipasi masyarakat belum optimal kalau tidak suka dikatakan minimal. Kenapa masyarakat yang dikatakan belum peduli? Kepedulian belum optimal karena penyakit ini setiap tahun selalu ada dan tidak pernah dihebohkan oleh masyarakat kecuali bila mereka atau anggota keluarganya terserang penyakit, tidak ada yang merasa malu atau dipermalukan karena penyakit ini. Pada hal penyakit ini timbul adalah akibat mereka berada pada tempat yang kondisi lingkungannya tidak sehat. Secara acak bisa dicoba mendekati anggota masyarakat bahkan yang berpendidikan juga bisa ditanyakan apa yang mereka rasakan/ pikirkan bila dilingkungan atau dalam rumahnya ditemukan tempat perindukan jentik nyamuk yang mempunyai karakter atau sifat dapat menularkan penyakit Demam Berdarah. 

Pengobatan untuk DBD tidak ada yang khusus, karena penyakit ini disebabkan oleh virus. Virus tersebut namanya adalah virus Dengue. Upaya yang dilakukan untuk menyelamatkan penderita (terutama menyerang anak) hanya bersifat simtomatis/ suportif artinya mengatasi gejala yang timbul saja(1). Gejala terberat yang timbul adalah perdarahan didalam rongga tubuh, tdk terlihat oleh mata, tapi sangat berbahaya karena dokter serta perawat dan petugas kesehatan lain menjadi sangat repot dan bisa saja kewalahan karena transfusi mungkin saja kalah cepat dengan perdarahan yang terjadi sehingga penderita jatuh pada keadaan sindroma shock yang dikenal dengan DSS (Dengue Shock Syndrome), selain itu demam/panas tinggi yang timbul dapat merusak sistim saraf. Kedua gejala ini dapat berakhir dengan kematian. 

Kurangkah penyuluhan terhadap bahaya dan cara mencegah terjadinya DBD? Penyuluhan telah sering dilakukan oleh petugas kesehatan setempat yang dikenal dengan 3M (menutup, menguras, menimbun); bahkan sekarang sudah ditambah pula dg 3M-plus (menutup,menguras, menimbun tempat perindukan nyamuk dan menggosok badan dg repelent)... berhasilkah? 

PSN (Pembasmian Sarang Nyamuk) telah dicanangkan dimana-mana oleh para pimpinan setempat, berhasilkah? 

Berbagai upaya dilakukan seperti penyemprotan masal oleh masyarakat yang mampu membeli mesin pembuat asap (fogging machine), gotong royong membersihkan sekitar lokasi tempat tinggal dan rumah masing-masing juga dengan dimotori oleh pimpinan daerah setempat dan lain-lain kegiatan masal dan seremonial dalam rangka penggulangan penyakit DBD. 

Timbul pertanyaan apakah kalau sejumlah penderita yang dirawat di rumahsakit secara gratis, kemudian rumah (atau tempat tinggal penderita) dan lokasi sekitarnya disemprot secara gratis pula berarti upaya pemerintah dan masyarakat berhasil? 

Masyarakat yang membutuhkan memang telah mendapat pelayanan kesehatan sesuai dengan haknya. Petugas kesehatan dan pemerintah daerah adalah terminal untuk menanggulangi penyakit ini dan harus menanggulanginya, tetapi akankah kita selalu mengatasi/ menanggulangi suatu masalah setelah sampai pada terminal? Sanggupkah rumah sakit dan pemerintah menanggung beban yang bertambah banyak sehingga makin berat dalam pelayanan pengobatan penderita ini? Masyarakat harus dilibatkan dalam hal ini, setiap individu perlu berkontribusi sesuai dengan kapasitasnya dan terukur terutama dalam hal pencegahan. 

Sebenarnya ada ukuran yang sederhana untuk pencegahan penyakit DBD?

Ukuran ini sudah ada sejak penyakit ini ditemukan dan dikenal pertama kalinya di Indonesia. 

Kegiatan pengukuran yang sederhana ini dikenal dengan nama Pemantauan Jentik Berkala (PJB) sedangkan ukurannya adalah Angka Bebas Jentik (ABJ). Kegiatan ini dilakukan secara periodik dalam satu tahun dan bersifat acak (sampling). 

Melihat kepada kejadian kesakitan yang timbul maka Angka yang diperoleh dapat diperkirakan belum mencapai standar yang ditetapkan karena Kementerian Kesehatan sebagai institusi pusat yang mengelola kesehatan masyarakat Indonesia. Kementerian Kesehatan untuk urusan wajib yang berkaitan dengan Pemberantasan Penyakit Menular –dalam hal ini DBD- menetapkan Standar Pelayanan Minimal (SPM) dengan target ABJ lebih dari 95% setiap tahunnya untuk keberhasilan suatu daerah kabupaten/kota dalam mencegah timbulnya kesakitan akibat DBD (2,3). Angka ini akan berdampak positif (terjadinya penurunan jumlah kasus penyakit DBD secara bermakna) bila dapat dicapai dan dipertahankan dalam suatu kurun waktu tertentu. Apakah angka ini harus kita capai setiap tahun atau sejak dari saat sekarang? Melihat jumlah kejadian kesakitan yang selalu ada dan meningkat setiap tahun (bermakna secara epidemilogi), sejak saat ini sebenarnya perlu ada action pencegahan yang nyata oleh warga (masyarakat dan pimpinannya) pada suatu daerah. Kegiatan (action) inilah nanti yang akan diukur dengan ABJ. 

Pada masa lalu, dalam rangka penanggulangan penyakit DBD terutama dalam hal pencegahan, (karena pengobatan dan pembasmian nyamuk dalam wilayah penderita yang positif, ditangani oleh petugas Dinas Kesehatan setempat) telah ditangani secara lintas sektoral. Tim ini dikenal dengan nama Kelompok Kerja Nasional DBD (POKJANAL DBD) dan berada pada setiap level pemerintahan sejak dari pusat sampai kecamatan. Pesan yang dibawa oleh tim ini sebenarnya adalah membasmi penyakit DBD secara lintas sektoral, sesuai dengan fungsi sektor masing-masing. Dengan pergeseran waktu tim ini akhirnya tidak-aktif namun penyakit DBD tetap ada. 

Dengan tidak-aktifnya Pokjanal DBD maka apakah kita menyerah dan pasrah dengan gigitan nyamuk DBD? Masih ada upaya lain sebenarnya yang dapat dilakukan. 

Pemerintah daerah bersama lapisan/ kelompok masyarakat dapat melaksanakan gerakan yang memobilisasi anak usia sekolah untuk bergerak mengumpulkan sebanyak mungkin jentik nyamuk dan memberi penghargaan (reward) pada setiap ekor jentik Aedes aegypty yang mereka kumpulkan (tentu saja tidak dalam waktu belajar di sekolah). Mereka dapat saja melakukan secara berkelompok atau individu yang kemudian mendapat reward atas prestasi mereka dalam mengumpulkan jentik. 

Ini dapat dianggap sebagai suatu proses pembelajaran pada anak usia sekolah (dan akan memiliki imbas juga pada golongan usia selanjutnya) untuk mengetahui seperti apa bentuk jentik nyamuk pembawa virus penyakit DBD tersebut (jenis nyamuk lainpun akan dapat diketahui, seperti jentik pembawa penyakit Chikungunya, Malaria, Filariasis/ Kaki Gajah). 

Imbas lain yang juga dapat diperoleh adalah akhirnya di lokasi/ wilayah setempat tidak ada lagi jentik (terutama Aedes aegypti) yang dapat berkembang menjadi nyamuk dimana selanjutnya keberadaan jentik dapat dijadikan sebagai sangsi pada setiap rumah tangga, seperti yang sudah ada pada beberapa tempat/ daerah/ negara lain yang juga memiliki iklim yang sama dengan Indonesia. 


Kepustakaan: 
1. Benenson, Abram S, Control of Communicable Diseases Manual, Sixteenth Edition, 1995, an official report of the American Public Health Association, 128 – 133. 
2. KepMenkes no.1457/Menkes/SK/X/2003, Departemen Kesehatan RI, Jakarta, 2003 hal. 6 
3. KepMenkes no.1091/Menkes/SK/X/2004, Departemen Kesehatan RI, Jakarta, 2004 hal. 88-91 

(dr.Wihardi Triman, MQIH, Field Epidemiologist: upload by DR. dr. Irene, MKM)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar