Minggu, 15 Januari 2012

WORKSHOP PERAN JURNALIS DALAM PENANGGULANGAN BENCANA

Sabtu, 14 Januari 2012 

Propinsi Sumbar termasuk salah satu daerah rawan bencana di Indonesia, sementara masyarakat masih peranyak yang awam perihal bencana itu
sendiri. Untuk itu semua pihak mesti siap menghadapi situasi tersebut. Jurnalis berperan untuk memberikan pemberitaan edukatif dalam menciptakan
masyarakat yang tangguh menghadapi bencana, perlu sebuah komitmen dalam pemberitaan sehingga jika bencana
terjadi, korban di masyarakat bisa diminimalisir, demikian Staf Khusus Presiden Bidang Sosial
Bencana, Andi Arief saat menjadi keynote speaker pada workshop terkait peran jurnalis dalam penanggulangan bencana yang diadakan di Hotel Pangeran Padang, Sabtu (14/1).

UU tentang kebencanaan telah digariskan strategi penanggulangan bencana yakni mencakup prabencana, saat terjadi bencana, dan pasca bencana. Pada tahap prabencana, penyelenggaraan penanggulangan bencana meliputi antara lain mitigasi,
pencegahan, pengurangan resiko bencana (PRB). "Apabila terjadi bencana, langkah penanganan darurat menjadi fokus. Serta rehabilitasi dan rekonstruksi
bagi masyarakat dan wilayah terdampak merupakan langkah
selanjutnya setelah terjadi bencana," katanya.

Selain itu, kecenderungan pemberitaan saat ini, media lebih
memfokuskan pada kejadian bencana. Asumsi yang melatarbelakangi adalah bad news is good news.
Pembicara lain pada workshop itu adalah adalah jurnalis penulis buku "Liputan Bencana", Ahmad Arief (Harian Kompas), Kepala BPBD Sumbar, Kepala Dinas Prasarana Jalan (Suprapto), Tata Ruang dan Pemukiman Sumbar, Dinas Sosial Sumbar, Dinas Kesehatan Sumbar (DR. dr. Irene, MKM). 



Ahmad Arief menyampaikan apresiasi pada jurnalis di Sumatera Barat, karena kepeduliannya yang terwujud dalam Jurnalis Siaga Bencana. Akan tetapi, masih banyak dosa-dosa media diantaranya alpa mengingatkan bencana, bencana lebih banyak diberitakan setelah kejadian karena mitigasi bencana belum menjadi mainstream media, terkadang tidak puya persiapan dan nebeng, berita sesat atau menyesatkan, korban ditinggalkan, media gagal mengawal pembangunan lebih baik pasca bencana. Beliau mencoba meninjau membandingan antara peliputan Gempa dan Tsumami Sendai vs Aceh

“Jurnalis harus fokus dalam meliput korban selamat dengan berempati bukan mengeksploitasi. Gambarkan kedahsyatan bencana itu, bukan kengeriannya,” jelasnya.
Terakhir, katanya, jurnalis harus juga mengawal dan mengawal rekonstruksi pascabencana. Agar, pemberitaan tersebut tidak tenggelam begitu saja. 

Hidup di Negara cincin api membutuhkan kesiapan. Jika kita melihat sejarah, masyarakat sebetulnya sudah siap sejak dahulu, rumah adat pada umumnya dibangun dengan struktur tahan gempa…. Itu mungkin bukan suatu kebetulan. Apa yang bisa dilakukan media: sudahkan rumah kita tahan gempa, mengingatkan, menggali sejarah, mengingatkan…..
100 jurnalis Sumbar telah menghasil beberapa rekomendasi bagi pemerintah dan pemilik media.


Pertama, pemerintah diharapkan selalu memberi informasi tentang kebencanaan. Sebab, informasi adalah hak masyarakat yang disebarluaskan media.


Kedua, pemerintah juga diminta memberikan kesempatan kepada jurnalis untuk menggunakan transportasi dan alat informasi yang dibutuhkan dalam peliputan dan pemberitaan.

Sedangkan rekomendasi untuk media adalah memberikan pelatihan dalam peliputan bencana, jaminan keselamatan kerja berupa asuransi dan memberikan dana operasional yang memadai dan peralatan safety jurnalis. 

(DR. dr. Irene, MKM)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar