Selasa, 29 November 2011

Penyusunan Rencana Kontijensi Bencana Dinas Kesehatan Sumatera Barat

Bukittinggi, 27 November 2011

Sebanyak lebih kurang 50 peserta yang berasal dari Dinas Kesehatan di 12 Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Barat (Kota Padang, Kota Bukittinggi, Kota Pariaman, Kabupaten Tanah Datar, Kabupaten Agam, Kabupaten Padang Pariaman, Kabupaten Pesisir Selatan, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Kabupaten Solok dan Kabupaten Solok Selatan) mengikuti Pelatihan Rencana Kontigensi Bidang Kesehatan, pada tanggal 27 November sampai 1 Desember 2011 di Hotel Parai Bukittinggi, Jalan Raya Bukittinggi – Medan Km. 7 Bukittinggi.

“Selama 5 hari mulai hari Minggu, peserta akan mengikuti pelatihan, dari kegiatan ini diharapkan menghasilkan dokumen rencana kontijensi masing-masing kabupaten kota di Bidang Kesehatan yang disepakati seluruh lintas program, sehingga saat kondisi tanggap darurat dapat dipakai sebagai rencana operasional” kata Jasmarizal, SKep, MARS, kepala seksi Penanggulangan Bencana Dinas Kesehatan Sumatera Barat, saat memberi laporan pada pembukaan acara tersebut.

Rencana kontijensi di serahkan kepada masing-masing daerah. Mereka yang tahu kondisi daerah dan warganya. Masing-masing daerah akan berbeda rencana kontijensinya, tergantung potensi bencana yang ada. Secara geografis, Geologis dan Demografis wilayah Sumatera Barat memiliki potensi bencana yang beragam seperti gempa, tanah longsor, gunung api, kekeringan, banjir dan lain-lain. Dinas Kesehatan sudah menyusun kebijakan, strategi, dan Tim Penanggulangan Bencana melalui SK Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Barat Nomor 360/10/P2B/VI/2011 tentang Tim Penanggulangan Bencana Provinsi Sumatera Barat, demikian saya sampaikan saat membuka acara tersebut secara resmi yang dilanjutkan dengan menyampaikan materi Kebijakan Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Barat Dalam Penanggulangan Bencana.
(materi lengkap dapat di download di : http://www.scribd.com/doc/74113435)

Minggu, 27 November 2011

Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit Di Pengungsian Pasca Bencana Edisi 2

Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit Campak

a. Pencegahan penyakit Campak pada bencana

Pada dasarnya upaya pencegahan penyakit campak adalah pemberian imunisasi pada usia yang tepat. Pada saat bencana, kerawanan terhadap penyakit ini meningkat karena:
  • Memburuknya status kesehatan, terutama status gizi anak-anak. 
  • Konsentrasi penduduk pada suatu tempat/ruang (pengungsi). 
  • Mobilitas penduduk antar wilayah meningkat (kunjungan keluarga). 
  • Cakupan imunisasi rendah yang akan meningkatkan kerawanan yang berat. 
Oleh karena itu pada saat bencana tindakan pencegahan terhadap penyakit campak ini dilakukan dengan melaksanakan imunisasi, dengan kriteria:
  • Jika cakupan imunisasi campak didesa yang mengalami bencana >80%, tidak dilaksanakan imunisasi massal (sweeping). 
  • Jika cakupan imunisasi campak di desa bencana meragukan maka dilaksanakan imunisasi tambahan massal (crash program) pada setiap anak usia kurang dari 5 tahun (6–59 bulan), tanpa memandang status imunisasi sebelumnya dengan target cakupan >95%. 
  • Bila pada daerah tersebut belum melaksanakan imunisasi campak secara rutin pada anak sekolah, imunisasi dasar juga diberikan pada kelompok usia sekolah dasar kelas 1 sampai 6.
Seringkali karena suasana pada saat dan pasca-bencana tidak memungkinkan dilakukan imunisasi massal, maka diambil langkah sebagai berikut:
  1. Pengamatan ketat terhadap munculnya penderita campak. 
  2. Jika ditemukan satu penderita campak di daerah bencana, imunisasi massal harus dilaksanakan pada kelompok pengungsi tersebut, dengan sasaran anak usia 5–59 bulan dan anak usia sekolah kelas 1 sampai 6 SD (bila belum melaksanakan BIAS campak) sampai hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan penderita positif terkena campak. Imunisasi tambahan massal yang lebih luas dilakukan sesuai dengan kriteria imunisasi tersebut. 
  3. Jika diterima laporan adanya penderita campak di luar daerah bencana, tetapi terdapat kemudahan hubungan (kemudahan penularan) dengan daerah bencana, penduduk di desa tersebut dan daerah bencana harus diimunisasi massal (sweeping) sesuai kriteria imunisasi.
b. Sistem tatalaksana penderita Campak
Berikut adalah sistem tatalaksana penderita campak.

1. Rujukan Penderita Campak dari Masyarakat – Pos Kesehatan
  • Pada saat bencana, setiap keluarga, kepala ketua kelompok pengungsi, kepala desa mendorong setiap anggota keluarganya yang menderita sakit panas untuk segera berobat ke pos kesehatan terdekat (termasuk penderita campak).
  • Petugas menetapkan diagnosis dan tatalaksana penderita campak dengan benar dan segera melaporkan ke petugas pengamatan penyakit.
2. Tatalaksana Kasus
Batasan Kasus Campak:
  • Menderita sakit panas (diraba atau diukur dengan 
termometer 39 derajat Celcius) 
  • Bercak kemerahan 
  • Dengan salah satu gejala tambahan: batuk, pilek, 
mata merah, diare. Komplikasi berat campak: Bronchopneumonia, Radang telinga tengah, Diare 
3. Langkah-Langkah Tatalaksana
Penetapan diagnosa berdasarkan batasan diagnosa dan komplikasi, yaitu :
  • Panas kurang dari 3 hari, atau panas tanpa bercak kemerahan dan tidak diketahui adanya diagnosa lain, maka:

    • Berikan: obat penurun panas (parasetamol) 

    • Anjuran: 
      • Makan dan minum yang banyak 
      • Membersihkan badan 
      • Jika timbul bercak kemerahan atau sakitnya 
semakin memberat/belum sembuh, berobat kembali ke pos kesehatan. 
  • Panas dan bercak kemerahan dengan salah satu gejala tambahan (panas 3 – 7 hari). 

    • Berikan: 
      • Penurun panas (parasetamol) 
      • Antibiotik (ampisilin, kotrimoksa-sol), lihat 
tatalaksana ISPA 
      • Vitamin A 
      • Oralit 

    • Anjuran: 
      • Makan dan banyak minum 
      • Membersihkan badan 
      • Jika timbul komplikasi: diare hebat, sesak 
napas atau radang telinga tengah (menangis, 
rewel), segera kembali ke pos kesehatan. 
      • Jika 3 hari pengobatan belum membaik, 
segera kembali ke pos kesehatan. 

c. Penyelidikan dan Penanggulangan KLB Campak

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penyelidikan dan penanggulangan KLB campak, antara lain:

1. Sumber informasi kasus campak
  • Pelaksanaan pengamatan penyakit.
 
  • Laporan petugas penanggulangan bencana.
 
  • Laporan masyarakat (kepala desa, ketua kelompok pengungsi atau anggota masyarakat lain). 
2. Kriteria KLB
Satu kasus di daerah bencana pada keadaan bencana adalah KLB (masa darurat, masa rehabilitasi).

3. Langkah-Langkah Penyelidikan
  • Penetapan diagnosa. 
  • Mencari kasus tambahan dengan pelacakan 
lapangan, informasi semua kepala desa, ketua kelompok pengungsi dan keluarga di daerah bencana. 
  • Membuat grafik penderita berdasarkan waktu kejadian kasus. 
  • Membuat pemetaan kasus. 
  • Menetapkan daerah dan kelompok yang banyak 
penderita. 
  • Menetapkan daerah atau kelompok yang terancam 
penularan, karena alasan kemudahan hubungan dan 
alasan rendahnya cakupan imunisasi. 
  • Melaksanakan upaya pencegahan dan melaksanakan sistem tatalaksana penderita campak. 

Catatan: Pada saat imunisasi massal, pisahkan antara yang sakit dan yang sehat.

4. Melaksanakan pengamatan (surveilans) ketat selama KLB berlangsung, dengan sasaran pengamatan:
  • Penderita: peningkatan kasus, wilayah penyebaran 
dan banyaknya komplikasi dan kematian. 
  • Cakupan imunisasi setelah imunisasi massal. 
  • Kecukupan obat dan sarana pendukung penanggulangan KLB. 

5. Penggerakkan kewaspadaan terhadap penderita campak dan pentingnya pencegahan:
  • Kepala Wilayah: pengarahan penggerakkan 
kewaspadaan. 
  • Menyusun sistem tatalaksana penderita campak. 
  • Dukungan upaya pencegahan (imunisasi massal).

Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit Di Pengungsian Pasca Bencana Edisi 1


Pentingnya Imunisasi Pasca Bencana

Sharing berita:
http://www.unicef.org/indonesia/id/reallives_12814.html
http://www.supportunicefindonesia.org/index.php/campaign/detil/133/id

Pola pengungsian di Indonesia sangat beragam mengikuti jenis bencana, lama pengungsian dan upaya persiapannya. Pengungsian pola sisipan yaitu pengungsi menumpang di rumah sanak keluarga. Pengungsian yang terkonsentrasi di tempat-tempat umum atau di barak-barak yang telah disiapkan. Pola lain pengungsian yaitu di tenda-tenda darurat disamping kanan kiri rumah mereka yang rusak akibat bencana.

Apapun pola pengungsian yang ada akibat bencana tetap menimbulkan masalah kesehatan. Masalah kesehatan berawal dari kurangnya air bersih yang berakibat pada buruknya kebersihan diri dan sanitasi lingkungan yang menyebabkan perkembangan beberapa penyakit menular.

Pelayanan Kesehatan Yang Dibutuhkan Oleh Pengungsi meliputi:
  1. Pelayanan Kesehatan Dasar
  2. Pelayanan kesehatan jiwa 
  3. Pelayanan promosi kesehatan 
  4. Pencegahan dan pemberantasan penyakit menular 
Pelayanan Kesehatan Dasar

Pelayanan kesehatan dasar yang diperlukan pengungsi meliputi:
  • Pelayanan pengobatan 
  • Pelayanan imunisasi 
  • Pelayanan kesehatan ibu dan anak 
  • Kesehatan Ibu dan Anak (pelayanan kehamilan, persalinan, nifas dan pasca-keguguran). 
  • Keluarga berencana (KB) 
  • Deteksi dini dan penanggulangan IMS dan HIV/AIDS 
  • Kesehatan reproduksi remaja 
 
  • Pelayanan gizi 
 
  • Pemberantasan penyakit menular dan pengendalian vektor
 
Beberapa jenis penyakit yang sering timbul di pengungsian dan memerlukan tindakan pencegahan karena berpotensi menjadi KLB antara lain: campak, diare, cacar, malaria, varicella, ISPA, tetanus. 

Pelaksanaan pengendalian vektor yang perlu mendapatkan perhatian di lokasi pengungsi adalah pengelolaan lingkungan, pengendalian dengan insektisida, serta pengawasan makanan dan minuman. 

Pada pelaksanaan kegiatan surveilans bila menemukan kasus penyakit menular, semua pihak termasuk LSM kemanusiaan di pengungsian harus melaporkan kepada Puskesmas/Pos Yankes di bawah koordinasi Dinas Kesehatan Kabupaten sebagai penanggung jawab pemantauan dan pengendalian.

Pencegahan dan pemberantasan penyakit menular

Vaksinasi, Sebagai prioritas pada situasi pengungsian, bagi semua anak usia 6 bulan – 15 tahun menerima vaksin campak dan vitamin A dengan dosis yang tepat.

Masalah umum kesehatan di pengungsian, Beberapa jenis penyakit yang sering timbul di pengungsian memerlukan tindakan pencegahan. Contoh penyakit tersebut antara lain, diare, cacar, penyakit pernafasan, malaria, meningitis, tuberkulosa, tifoid, cacingan, scabies, xeropthal-mia, anemia, tetanus, hepatitis, IMS/HIV-AIDS

Manajemen kasus, Semua anak yang terkena penyakit menular selayaknya dirawat agar terhindar dari risiko penularan termasuk kematian.

Surveilans, Dilakukan terhadap beberapa penyakit menular dan bila menemukan kasus penyakit menular, semua pihak termasuk LSM kemanusiaan di pengungsian, harus melaporkan kepada Puskesmas dibawah koordinasi Dinas Kesehatan Kabupaten sebagai penanggung jawab pemantauan dan pengendalian

Pada posting berikutnya akan diulas mengenai Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit Campak Pada Bencana......
http://irenesusilo.blogspot.com/2012/02/pencegahan-dan-penanggulangan-penyakit.html

(DR. dr. Irene, MKM)

Bencana Gunung Merapi

ANALISIS SITUASI BENCANA GUNUNG MARAPI
TIM SIAGA BENCANA DINAS KESEHATAN PROVINSI SUMATERA BARAT


1. PENDAHULUAN

Gunung Marapi terletak pada posisi geografi 00 22’ 47,72” LS dan 1000 28’ 16,71” BT, di Kabupaten Agam dan Kabupaten Tanah Datar dengan ketinggian 2891,3 m di atas permukaan laut. Gunung Marapi merupakan gunung api tipe A yang teraktif di Pulau Sumatera, termasuk dalam rangkaian pegunungan Bukit Barisan pada jalur Barat Laut – Tenggara, dan terdapat banyak lubang kawah disekitar puncaknya berupa lapangan solfatara dan fumarola dengan nama-nama kawah tersebut adalah: Kaldera Bancah (A), Kapundan Tuo (B), Kabun Bungo (C), Kapundan Bongso (D), Kawah Verbeek atau Kapundan Tengah (D4). Semuanya merupakan pusat erupsi dengan lebar lubang antara 175 – 600 m dan panjang 1200 m.
Kegiatannya sangat aktif, sering terjadi letusan-letusan bertipe strombolian, dengan tinggi letusan mencapai 600 m dari bibir kawah. Titik letusannya kadang berpindah mengikuti kelurusan timur – barat daya sepanjang kawah tuo dan kawah bongso. Periode letusannya berlangsung hanya beberapa hari, minggu atau bulan, dengan masa istirahat antara 1 tahun hingga 20 tahun. Bukaan kawah G.Marapi agak mengarah ke sebelah selatan dan barat laut, namun secara umum tampak seperti kerucut terpancung. Kawasan rawan bencana III yang berpotensi dilanda oleh bahaya aliran massa adalah berjarak sekitar 5 km dari puncak, daerah tersebut termasuk pada Peta Daerah Bahaya.


HIV AIDS : Jauhi Penyakitnya, Bukan Orangnya


Sabtu, 26 November 2011

Kusta dan Cacat .... Aku Masih Seperti Yang Dulu

Lintas Berita:

Berita 1990 : http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1990/01/20/KSH/mbm.19900120.KSH17809.id.html

Berita 2010 : http://www.youtube.com/watch?v=RsMQoQo82zc

Kusta merupakan masalah kesehatan masyarakat karena cacatnya. Cacat kusta terjadi akibat gangguan fungsi saraf pada mata, tangan atau kaki. Sayangnya, orang-orang yang cacat akibat kusta “dicap” seumur hidup sebagai “penderita kusta” walaupun sudah sembuh dari penyakit. Sementara sebenarnya hampir semua cacat dapat dicegah!
Untuk menilai kualitas penanganan pencegahan cacat yang dilakukan oleh petugas, maka semua pasien kusta dinilai tingkat cacatnya sesuai dengan petunjuk WHO. Pemeriksaan dilakukan pada mata, tangan dan kaki.

Mata diperiksa apakah kelopak mata sulit menutup,
Tangan diperiksa apakah ada lunglai, mati rasa pada telapak, luka atau ulkus akibat mati rasa, pemendekan jari atau kelemahan otot,
Kaki diperiksa apakah ada lunglai (semper), mati rasa pada telapak kaki, luka , atau pemendekan jari.
Kalau ada cacat akibat kerusakan saraf dan cacat itu kelihatan (borok, luka, jari kiting, lunglai, pemendekan, mata tidak dapat menutup erat, luka pada cornea), maka diberi tingkat cacat 2. Kualitas penemuan penderita juga dapat dinilai dengan melihat proporsi tingkat cacat 2 di antara penderita baru.

Petugas harus memperhatikan penderita yang cacat tetap dan menentukan tindakan perawatan diri apa yang perlu dilakukan penderita itu. Petugas jangan hanya memberikan ceramah kepada penderita, tetapi peragakan tindakan-tindakan itu dan bantulah penderita supaya dia dapat melakukannya sendiri.

Penderita harus mengerti bahwa pengobatan MDT sudah (atau akan) membunuh bakteri kusta. Tetapi cacat pada mata, tangan atau kakinya yang terlanjur terjadi akan tetap ada seumur hidupnya, sehingga dia harus bisa melakukan perawatan diri dengan rajin agar cacatnya tidak bertambah berat.

Prinsip pencegahan bertambahnya cacat pada dasarnya adalah 3 M :
  1. Melindungi mata, tangan dan kaki dari trauma fisik
  2. Memeriksa mata, tangan dan kaki secara teratur
  3. Melakukan perawatan diri
Semoga bermanfaat.......

(DR. dr.Irene, MKM)






Insiden dan Kecacatan Kusta

Sabtu, 26 November 2011

Saya menjadi pemateri pada "Simposium dan Workshop: Diagnosis dan Pencegahan Cacat Kusta" yang diadakan oleh Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin – Perdoski, dengan judul “Insiden dan Kecacatan Kusta di Provinsi Sumatera Barat”.

Penyakit kusta merupakan penyakit menular menahun yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium leprae yang terutama menyerang saraf tepi, kulit dan organ tubuh lain kecuali susunan saraf pusat.

Penyakit kusta tersebar diseluruh dunia dengan endemisitas yang berbeda-beda. Walaupun ada penurunan yang cukup drastis dari jumlah kasus terdaftar, namun sesungguhnya jumlah penemuan kasus baru (New Case Detection) tidak berkurang sama sekali. Oleh karena itu, selain angka prevalensi, angka penemuan kasus baru (NCDR) juga merupakan indikator yang harus diperhatikan. Karena walaupun suatu negara telah mencapai eliminasi, tidak berarti bahwa kusta tidak lagi menjadi masalah. Nampaknya kasus kusta akan terus ada setidaknya hingga beberapa tahun ke depan, hingga kesinambungan program kusta harus tetap dijamin.

Sumatera Barat telah mencapai eliminasi kusta pada tahun 1998, namun kasus kusta dari tahun ke tahun tetap bermunculan. Sumatera Barat termasuk Daerah Low Endemik Kusta. Angka Kasus Cacat Tingkat 2 dan Kasus Anak menunjukkan bahwa kinerja dalam penemuan kasus masih harus perlu ditingkatkan.

Pandangan keliru tentang kusta harus diubah:
  1. Penderita dengan lesi kulit : harus ke Sarana Pelayanan Kesehatan untuk didiagnosa dan terapi.
  2. Petugas kesehatan: Tidak Kesampingkan Kusta pada kelainan kulit.
  3. Pemuka masyarakat: Berdiri di "depan" dalam perangi stigma dan diskriminasi.
  4. Anggota masyarakat: Menerima "kusta dan penderitanya".
  5. Pengambil keputusan: "Komitmen Politis"
"Bersama kita bisa cegah kecacatan kusta".....Cari Peluang Untuk ACTION.
Bravo Perdoski Cabang Padang, yang telah mengangkat tema "Leprosy" pada sebuah simposium.

(DR. dr. Irene, MKM)

Materi Lengkap dapat di di download di:

Nagari Peduli TB di Sumatera Barat

Poster Nagari Peduli TB _ Irene